Mohamad Zaki Hussein, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)
PEMERINTAH tampaknya sudah bulat
akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ini terlihat
dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat membuka
sidang kabinet di Jakarta tanggal 22 Februari lalu. ‘Saya sudah ambil
keputusan…harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang
tepat,’ ungkap SBY seperti dikutip Antaranews.com (22/2).
Sampai ketika artikel ini ditulis,
jumlah besaran kenaikannya belum bisa dipastikan. Namun, dalam Rapat
Kerja dengan Komisi VIII DPR pada 28 Februari, pemerintah mengusulkan
dua opsi kenaikan BBM bersubsidi. Opsi pertama, menaikkan harga eceran premium dan solar sebesar Rp1500 per liter; sementara opsi kedua, memberikan subsidi tetap sebesar Rp2000 per liter untuk premium dan solar.
Kedua opsi memang memiliki
konsekuensi yang berbeda. Kalau di opsi pertama, harga eceran akan
tetap, sementara besaran subsidi akan naik turun sesuai dengan gap
antara harga eceran dengan harga minyak dunia yang fluktuatif. Di opsi
kedua, besaran subsidi akan tetap, sementara harga eceran yang akan naik
turun sesuai dengan harga minyak dunia yang fluktuatif. Tapi, pada
dasarnya, kedua opsi tetap sama, yaitu sama-sama akan menyusahkan kita
sebagai rakyat.
Apa alasan pemerintah menaikkan
harga BBM? Sama seperti alasan kenaikan sebelumnya di tahun 2008, bahwa
harga minyak dunia naik, sehingga menekan anggaran untuk subsidi BBM.
Jadi, untuk menyelamatkan anggaran, pemerintah harus mengurangi subsidi
BBM. Pertanyaannya, apa gunanya anggaran terselamatkan kalau kita
sebagai rakyat sengsara?
Dampak Kenaikan Harga BBM
Sudah bisa dipastikan, kenaikan
BBM akan merugikan masyarakat. Pengguna BBM seperti pengendara motor dan
mobil akan langsung merasakannya. Transportasi umum juga sudah pasti
akan menaikkan ongkos jasanya, sehingga pengguna transportasi umum juga
akan segera merasakan dampaknya. Lalu, para pengguna transportasi umum
kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk berhemat, sehingga
kenaikan harga BBM pun akan membunuh transportasi umum. Semuanya akan
kejepit.
Tapi tidak hanya sektor
transportasi yang akan terkena dampaknya. Dalam Peraturan Presiden No.
15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis
Bahan Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori pengguna BBM
bersubsidi selain transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang
terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian
kecil dengan luas maksimal 2 hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum
seperti krematorium. Semua pengguna ini akan terkena dampak kenaikan
harga BBM.
Logikanya mirip dengan dampak di
sektor transportasi. Kita ambil contoh petani kecil tanaman pangan.
Harga tanaman pangan para petani ini akan naik, karena ongkos produksi
untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik akibat kenaikan harga BBM.
Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini akan terkena
dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor, ada
kemungkinan para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke
tanaman pangan impor. Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh
usaha pertanian si petani kecil.
Kenaikan BBM memang cenderung akan
menaikkan harga barang-barang lain atau inflasi. Para ahli pun sudah
memprediksinya, meski dengan angka yang beragam. Pengamat ekonomi
Aviliani, misalnya, menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan
mengakibatkan tingkat inflasi nasional tahun ini menjadi 6,5 persen.
‘Apabila kenaikan BBM berkisar Rp1.500 sampai Rp2.000 kemungkinan
inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2 persen sehingga inflasi
nasional akan naik menjadi sekitar 6,5 persen,’ ungkap Aviliani seperti
dikutip Antaranews.com (25/2).
Meski demikian, pemerintah dan
para ideolognya (ekonom neoliberal) menyatakan yang sebaliknya. Mereka
menyatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan berdampak ke masyarakat
banyak. Kemudian, berangkat dari problematika konsumsi BBM, mereka juga
menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak positif pada
penghematan konsumsi BBM. Mari kita periksa argumentasi mereka ini.
Pengguna BBM: Rakyat Miskin vs. Kelas Menengah
Para pendukung kenaikan harga BBM
bersubsidi menyatakan, kenaikan harga BBM tidak akan berdampak banyak
pada rakyat miskin, karena konsumsi BBM rakyat miskin itu kecil.
Sebaliknya, beban terbesar kenaikan harga BBM ada pada kelas menengah ke
atas, karena merekalah yang mengonsumsi bagian terbesar dari BBM
bersubsidi melalui mobil pribadi mereka. Argumen ini bukan hanya
diajukan sekarang, tapi juga pada kenaikan harga BBM yang lalu. Dengan
asumsi bahwa pengguna terbesar BBM bersubsidi adalah sektor
transportasi, mari kita lihat data jumlah kendaraan bermotor di
Indonesia menurut jenisnya:
Tabel 1: Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan (unit), 2008-2010
*) Angka sementara
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2011
Dari data di atas, kita bisa lihat
bahwa jumlah kendaraan bermotor yang terbanyak adalah sepeda motor
dengan persentase rata-rata sekitar 77,95 persen dari seluruh kendaraan
bermotor yang ada di Indonesia. Sementara, mobil penumpang, meski
menempati urutan yang kedua, tapi jumlahnya jauh di bawah sepeda motor.
Persentase rata-rata mobil penumpang dari keseluruhan kendaraan bermotor
di Indonesia hanya sekitar 11,96 persen. Data di atas memang hanya
sampai tahun 2010, tapi karena ada pola yang mirip selama 2008-2010,
kita bisa berasumsi bahwa pola serupa pun terjadi sampai tahun 2012.
Tanpa pengolahan data lebih lanjut
saja, kita sudah bisa mencurigai pendapat para pendukung kenaikan harga
BBM bahwa konsumsi BBM kelas menengah ke atas lebih besar dari konsumsi
BBM rakyat miskin. Pasalnya, jumlah kendaraan bermotor yang terbanyak
adalah sepeda motor dan sepeda motor itu banyak digunakan oleh rakyat
miskin. Tapi baiklah, kita memang tidak bisa mengasumsikan bahwa semua
pemilik sepeda motor itu rakyat miskin, karena ada juga kelas menengah
ke atas yang memiliki sepeda motor.
Karena keterbatasan data, kita
asumsikan saja bahwa semua pemilik mobil itu adalah kelas menengah ke
atas. Dan bahwa 1 mobil dimiliki oleh 1 orang kelas menengah ke atas.
Kemudian, tiap kelas menengah ke atas pemilik mobil juga memiliki 1
sepeda motor. Dengan demikian, di tahun 2010, kita dapati jumlah sepeda
motor rakyat miskin adalah 61.133.032 – 8.828.114 = 52.304.918 sepeda
motor. Kalau kita asumsikan bahwa satu rakyat miskin memiliki satu
sepeda motor, maka kita dapati jumlah sepeda motor rakyat miskin itu
sama dengan jumlah pemiliknya.
Sekarang, dengan mengasumsikan
bahwa semua kelas menengah ke atas yang memiliki mobil serta semua
rakyat miskin yang memiliki sepeda motor adalah pengguna aktif BBM, maka
kita dapati jumlah pengguna BBM dari kelas menengah ke atas adalah
8.828.114 orang, sementara pengguna BBM dari rakyat miskin adalah
52.304.918 orang. Dengan kata lain, jumlah rakyat miskin yang
menggunakan BBM jauh lebih banyak dari jumlah kelas menengah ke atas
yang menggunakan BBM.
Memang betul bahwa jumlah rakyat
miskin pengguna BBM yang lebih banyak dari jumlah kelas menengah ke atas
pengguna BBM, bukan berarti konsumsi BBM rakyat miskin itu secara
otomatis lebih besar dari konsumsi BBM kelas menengah ke atas. Satu
orang pengguna mobil yang menghabiskan 40 liter bensin seminggu akan
lebih besar konsumsi BBM-nya daripada 3 orang pengguna sepeda motor yang
per orangnya menghabiskan 10 liter bensin seminggu (30 liter untuk 3
orang). Tapi, perbandingan jumlah pengguna BBM yang kelas menengah ke
atas dengan rakyat miskin itu tidak kecil. Mungkinkah 8.828.114 orang
pengguna mobil konsumsi BBM-nya lebih besar dari 52.304.918 orang
pengguna sepeda motor?
Kenaikan Harga BBM Tidak Sebabkan Penghematan BBM
Sekarang, mari kita ke argumen
kedua dari para pendukung kenaikan BBM, yaitu bahwa kenaikan harga BBM
akan berdampak pada penghematan BBM. Argumen ini, misalnya, terlihat
dalam tulisan Anggito Abimanyu, ‘Kenaikan Harga BBM,’ yang diterbitkan
di Kompas.com, 1 Maret 2012. Menurutnya, ‘Berbeda dengan tahun
2005 dan 2008, kenaikan harga subsidi saat ini tidak hanya disebabkan
oleh kenaikan harga dunia, tetapi juga oleh melonjaknya konsumsi BBM
bersubsidi.’
Abimanyu kemudian melanjutkan,
‘sudah banyak studi yang membuktikan bahwa kenaikan harga BBM akan
diikuti dengan penurunan konsumsi BBM.’ Begitu pula, ketika membahas
pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, ia menyatakan ‘Dengan kenaikan
harga BBM juga terjadi penghematan konsumsi BBM,’ meski tanpa
menampilkan data apapun mengenai hal itu. Intinya, logika Anggito adalah
demikian, bahwa kenaikan harga BBM akan menyelesaikan problem
pemborosan BBM yang menjadi salah satu penyebab kenaikan subsidi BBM
yang konon menjepit anggaran pemerintah.
Pertanyaannya, betulkah kenaikan
harga BBM akan mendisiplinkan pemborosan BBM? Mari kita lihat data-data
dalam Tabel 2 tentang konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia 2005-2010. Di
sini, yang saya masukkan sebagai BBM bersubsidi hanyalah mogas (motor
gasoline atau bensin), solar dan minyak tanah, karena ketiga jenis BBM
itulah yang sering disebutkan dalam berbagai peraturan negara tentang
penetapan harga eceran BBM (subsidi).
Tabel 2: Konsumsi BBM Bersubsidi di Indonesia 2005-2010 (Barel)
Sumber: diolah dari data Kementrian ESDM dan Bank Dunia.
Tahun 2008 adalah tahun di mana
rezim SBY menaikkan harga BBM. Pada bulan Mei 2008, pemerintah menaikkan
harga minyak tanah dari Rp2.000 menjadi Rp2.500, harga premium
dinaikkan dari Rp4.500 menjadi Rp6.000, dan harga minyak solar dinaikkan
dari Rp4.300 menjadi Rp5.500. Tapi dari data di Tabel 2, kita lihat,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsumsi BBM bersubsidi antara
tahun 2008 dengan tahun-tahun lainnya. Bahkan konsumsi mogas dan solar
di tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2006 dan 2007. Padahal pada
tahun 2006 dan 2007, harga premium masih Rp4.500, dan harga minyak solar
masih Rp4.300.
Harus diakui bahwa konsumsi BBM
Indonesia memang problematik. Konsumsi BBM kita sudah melebihi produksi
BBM dalam negeri, sehingga untuk menutup gap antara konsumsi dan
produksi, kita harus mengimpor BBM dari luar. Kita bisa lihat ini dalam
data-data dalam Tabel 3 mengenai produksi, konsumsi dan impor BBM
Indonesia. Artinya, kita memang perlu mendisiplinkan konsumsi BBM
Indonesia. Celakanya, pemerintah mengajukan solusi yang keliru. Kenaikan
harga BBM bukan hanya tidak mengurangi konsumsi BBM, tapi juga
menyengsarakan kita sebagai rakyat. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM
tidak hanya tidak menyelesaikan masalah, tapi juga telah menimbulkan
malapetaka.
Tabel 3: Produksi, Konsumsi dan Impor BBM Indonesia 2005-2010 (Ribu Barel)
Sumber: diolah dari data Kementrian ESDM.
Catatan Penutup
Seperti yang dipaparkan di atas,
kenaikan harga BBM hanya akan menyengsarakan kita sebagai rakyat. Meski
demikian, ada kompleksitas tersendiri dari isu BBM ini. Misalnya, ada
problem konsumsi BBM yang sudah melebihi produksi dalam negeri, sehingga
mensyaratkan adanya impor untuk menutup gap antara konsumsi dan
produksi BBM di Indonesia. Artinya, penolakan terhadap kenaikan harga
BBM juga harus dibarengi dengan tuntutan-tuntutan lain yang memberikan
solusi atas berbagai problem yang terkait dengan BBM. Sebagai contoh,
dengan asumsi bahwa pemborosan BBM disebabkan oleh penggunaan mobil
pribadi yang berlebihan, maka untuk menyelesaikan masalah pemborosan
BBM, kita bisa mengajukan tuntutan kenaikan pajak mobil pribadi yang
diharapkan akan membatasi penggunaan mobil pribadi.
Selain itu, kenaikan harga BBM
sekarang ini juga merupakan momen yang tepat untuk mempersoalkan kembali
sepak terjang swasta, terutama swasta asing, dalam sektor minyak
Indonesia. Tidak sulit untuk membayangkan siapa sebenarnya yang
diuntungkan oleh kenaikan harga BBM ini. Kalau harga BBM sudah seragam,
sesuai dengan harga pasar, tidak ada lagi BBM bersubsidi dan
non-subsidi, maka yang langsung mendapat keuntungan adalah pengecer
minyak asing, seperti Shell, yang selama ini bersaing dengan Pertamina
sebagai penyalur BBM bersubsidi. Semua ini tentu masih memerlukan
pendiskusian lebih lanjut. Yang perlu disadari adalah bahwa sekalipun
kita harus menolak kenaikan harga BBM, tapi hanya menolak saja sekarang
ini sudah tidak cukup, kita juga harus mengajukan solusi alternatif.***
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) di http://www.prp-indonesia.org. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan
sumber :http://indoprogress.com/2012/03/07/harga-bbm-naik-rakyat-sengsara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar