Kamis, 12 April 2012

Harga BBM Naik, Rakyat Sengsara

Mohamad Zaki Hussein, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)


PEMERINTAH tampaknya sudah bulat akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ini terlihat dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),  saat membuka sidang kabinet di Jakarta tanggal 22 Februari lalu. ‘Saya sudah ambil keputusan…harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat,’ ungkap SBY seperti dikutip Antaranews.com (22/2).


Sampai ketika artikel ini ditulis, jumlah besaran kenaikannya belum bisa dipastikan. Namun, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR pada 28 Februari, pemerintah mengusulkan dua opsi kenaikan BBM bersubsidi. Opsi pertama, menaikkan harga eceran premium dan solar sebesar Rp1500 per liter; sementara opsi kedua, memberikan subsidi tetap sebesar Rp2000 per liter untuk premium dan solar.


Kedua opsi memang memiliki konsekuensi yang berbeda. Kalau di opsi pertama, harga eceran akan tetap, sementara besaran subsidi akan naik turun sesuai dengan gap antara harga eceran dengan harga minyak dunia yang fluktuatif. Di opsi kedua, besaran subsidi akan tetap, sementara harga eceran yang akan naik turun sesuai dengan harga minyak dunia yang fluktuatif. Tapi, pada dasarnya, kedua opsi tetap sama, yaitu sama-sama akan menyusahkan kita sebagai rakyat.


Apa alasan pemerintah menaikkan harga BBM? Sama seperti alasan kenaikan sebelumnya di tahun 2008, bahwa harga minyak dunia naik, sehingga menekan anggaran untuk subsidi BBM. Jadi, untuk menyelamatkan anggaran, pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Pertanyaannya, apa gunanya anggaran terselamatkan kalau kita sebagai rakyat sengsara?


Dampak Kenaikan Harga BBM

Sudah bisa dipastikan, kenaikan BBM akan merugikan masyarakat. Pengguna BBM seperti pengendara motor dan mobil akan langsung merasakannya. Transportasi umum juga sudah pasti akan menaikkan ongkos jasanya, sehingga pengguna transportasi umum juga akan segera merasakan dampaknya. Lalu, para pengguna transportasi umum kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk berhemat, sehingga kenaikan harga BBM pun akan membunuh transportasi umum. Semuanya akan kejepit.

Tapi tidak hanya sektor transportasi yang akan terkena dampaknya. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum seperti krematorium. Semua pengguna ini akan terkena dampak kenaikan harga BBM.


Logikanya mirip dengan dampak di sektor transportasi. Kita ambil contoh petani kecil tanaman pangan. Harga tanaman pangan para petani ini akan naik, karena ongkos produksi untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik akibat kenaikan harga BBM. Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini akan terkena dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor, ada kemungkinan para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke tanaman pangan impor. Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh usaha pertanian si petani kecil.


Kenaikan BBM memang cenderung akan menaikkan harga barang-barang lain atau inflasi. Para ahli pun sudah memprediksinya, meski dengan angka yang beragam. Pengamat ekonomi Aviliani, misalnya, menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan tingkat inflasi nasional tahun ini menjadi 6,5 persen. ‘Apabila kenaikan BBM berkisar Rp1.500 sampai Rp2.000 kemungkinan inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2 persen sehingga inflasi nasional akan naik menjadi sekitar 6,5 persen,’ ungkap Aviliani seperti dikutip Antaranews.com (25/2).


Meski demikian, pemerintah dan para ideolognya (ekonom neoliberal) menyatakan yang sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan berdampak ke masyarakat banyak. Kemudian, berangkat dari problematika konsumsi BBM, mereka juga menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak positif pada penghematan konsumsi BBM. Mari kita periksa argumentasi mereka ini.


Pengguna BBM: Rakyat Miskin vs. Kelas Menengah

Para pendukung kenaikan harga BBM bersubsidi menyatakan, kenaikan harga BBM tidak akan berdampak banyak pada rakyat miskin, karena konsumsi BBM rakyat miskin itu kecil. Sebaliknya, beban terbesar kenaikan harga BBM ada pada kelas menengah ke atas, karena merekalah yang mengonsumsi bagian terbesar dari BBM bersubsidi melalui mobil pribadi mereka. Argumen ini bukan hanya diajukan sekarang, tapi juga pada kenaikan harga BBM yang lalu. Dengan asumsi bahwa pengguna terbesar BBM bersubsidi adalah sektor transportasi, mari kita lihat data jumlah kendaraan bermotor di Indonesia menurut jenisnya:


Tabel 1: Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan (unit), 2008-2010

[TABEL-1]

*) Angka sementara

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2011


Dari data di atas, kita bisa lihat bahwa jumlah kendaraan bermotor yang terbanyak adalah sepeda motor dengan persentase rata-rata sekitar 77,95 persen dari seluruh kendaraan bermotor yang ada di Indonesia. Sementara, mobil penumpang, meski menempati urutan yang kedua, tapi jumlahnya jauh di bawah sepeda motor. Persentase rata-rata mobil penumpang dari keseluruhan kendaraan bermotor di Indonesia hanya sekitar 11,96 persen. Data di atas memang hanya sampai tahun 2010, tapi karena ada pola yang mirip selama 2008-2010, kita bisa berasumsi bahwa pola serupa pun terjadi sampai tahun 2012.


Tanpa pengolahan data lebih lanjut saja, kita sudah bisa mencurigai pendapat para pendukung kenaikan harga BBM bahwa konsumsi BBM kelas menengah ke atas lebih besar dari konsumsi BBM rakyat miskin. Pasalnya, jumlah kendaraan bermotor yang terbanyak adalah sepeda motor dan sepeda motor itu banyak digunakan oleh rakyat miskin. Tapi baiklah, kita memang tidak bisa mengasumsikan bahwa semua pemilik sepeda motor itu rakyat miskin, karena ada juga kelas menengah ke atas yang memiliki sepeda motor.


Karena keterbatasan data, kita asumsikan saja bahwa semua pemilik mobil itu adalah kelas menengah ke atas. Dan bahwa 1 mobil dimiliki oleh 1 orang kelas menengah ke atas. Kemudian, tiap kelas menengah ke atas pemilik mobil juga memiliki 1 sepeda motor. Dengan demikian, di tahun 2010, kita dapati jumlah sepeda motor rakyat miskin adalah 61.133.032 – 8.828.114 = 52.304.918 sepeda motor. Kalau kita asumsikan bahwa satu rakyat miskin memiliki satu sepeda motor, maka kita dapati jumlah sepeda motor rakyat miskin itu sama dengan jumlah pemiliknya.


Sekarang, dengan mengasumsikan bahwa semua kelas menengah ke atas yang memiliki mobil serta semua rakyat miskin yang memiliki sepeda motor adalah pengguna aktif BBM, maka kita dapati jumlah pengguna BBM dari kelas menengah ke atas adalah 8.828.114 orang, sementara pengguna BBM dari rakyat miskin adalah 52.304.918 orang. Dengan kata lain, jumlah rakyat miskin yang menggunakan BBM jauh lebih banyak dari jumlah kelas menengah ke atas yang menggunakan BBM.

Memang betul bahwa jumlah rakyat miskin pengguna BBM yang lebih banyak dari jumlah kelas menengah ke atas pengguna BBM, bukan berarti konsumsi BBM rakyat miskin itu secara otomatis lebih besar dari konsumsi BBM kelas menengah ke atas. Satu orang pengguna mobil yang menghabiskan 40 liter bensin seminggu akan lebih besar konsumsi BBM-nya daripada 3 orang pengguna sepeda motor yang per orangnya menghabiskan 10 liter bensin seminggu (30 liter untuk 3 orang). Tapi, perbandingan jumlah pengguna BBM yang kelas menengah ke atas dengan rakyat miskin itu tidak kecil. Mungkinkah 8.828.114 orang pengguna mobil konsumsi BBM-nya lebih besar dari 52.304.918 orang pengguna sepeda motor?


Kenaikan Harga BBM Tidak Sebabkan Penghematan BBM

Sekarang, mari kita ke argumen kedua dari para pendukung kenaikan BBM, yaitu bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada penghematan BBM. Argumen ini, misalnya, terlihat dalam tulisan Anggito Abimanyu, ‘Kenaikan Harga BBM,’ yang diterbitkan di Kompas.com, 1 Maret 2012. Menurutnya, ‘Berbeda dengan tahun 2005 dan 2008, kenaikan harga subsidi saat ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga dunia, tetapi juga oleh melonjaknya konsumsi BBM bersubsidi.’


Abimanyu kemudian melanjutkan, ‘sudah banyak studi yang membuktikan bahwa kenaikan harga BBM akan diikuti dengan penurunan konsumsi BBM.’ Begitu pula, ketika membahas pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, ia menyatakan ‘Dengan kenaikan harga BBM juga terjadi penghematan konsumsi BBM,’ meski tanpa menampilkan data apapun mengenai hal itu. Intinya, logika Anggito adalah demikian, bahwa kenaikan harga BBM akan menyelesaikan problem pemborosan BBM yang menjadi salah satu penyebab kenaikan subsidi BBM yang konon menjepit anggaran pemerintah.


Pertanyaannya, betulkah kenaikan harga BBM akan mendisiplinkan pemborosan BBM? Mari kita lihat data-data dalam Tabel 2 tentang konsumsi BBM bersubsidi di Indonesia 2005-2010. Di sini, yang saya masukkan sebagai BBM bersubsidi hanyalah mogas (motor gasoline atau bensin), solar dan minyak tanah, karena ketiga jenis BBM itulah yang sering disebutkan dalam berbagai peraturan negara tentang penetapan harga eceran BBM (subsidi).

Tabel 2: Konsumsi BBM Bersubsidi di Indonesia 2005-2010 (Barel)

[TABEL 2]

Sumber: diolah dari data Kementrian ESDM dan Bank Dunia.


Tahun 2008 adalah tahun di mana rezim SBY menaikkan harga BBM. Pada bulan Mei 2008, pemerintah menaikkan harga minyak tanah dari Rp2.000 menjadi Rp2.500, harga premium dinaikkan dari Rp4.500 menjadi Rp6.000, dan harga minyak solar dinaikkan dari Rp4.300 menjadi Rp5.500. Tapi dari data di Tabel 2, kita lihat, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam konsumsi BBM bersubsidi antara tahun 2008 dengan tahun-tahun lainnya. Bahkan konsumsi mogas dan solar di tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2006 dan 2007. Padahal pada tahun 2006 dan 2007, harga premium masih Rp4.500, dan harga minyak solar masih Rp4.300.

Harus diakui bahwa konsumsi BBM Indonesia memang problematik. Konsumsi BBM kita sudah melebihi produksi BBM dalam negeri, sehingga untuk menutup gap antara konsumsi dan produksi, kita harus mengimpor BBM dari luar. Kita bisa lihat ini dalam data-data dalam Tabel 3 mengenai produksi, konsumsi dan impor BBM Indonesia. Artinya, kita memang perlu mendisiplinkan konsumsi BBM Indonesia. Celakanya, pemerintah mengajukan solusi yang keliru. Kenaikan harga BBM bukan hanya tidak mengurangi konsumsi BBM, tapi juga menyengsarakan kita sebagai rakyat. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM tidak hanya tidak menyelesaikan masalah, tapi juga telah menimbulkan malapetaka.

Tabel 3: Produksi, Konsumsi dan Impor BBM Indonesia 2005-2010 (Ribu Barel)

[TABEL 3]

Sumber: diolah dari data Kementrian ESDM.

Catatan Penutup

Seperti yang dipaparkan di atas, kenaikan harga BBM hanya akan menyengsarakan kita sebagai rakyat. Meski demikian, ada kompleksitas tersendiri dari isu BBM ini. Misalnya, ada problem konsumsi BBM yang sudah melebihi produksi dalam negeri, sehingga mensyaratkan adanya impor untuk menutup gap antara konsumsi dan produksi BBM di Indonesia. Artinya, penolakan terhadap kenaikan harga BBM juga harus dibarengi dengan tuntutan-tuntutan lain yang memberikan solusi atas berbagai problem yang terkait dengan BBM. Sebagai contoh, dengan asumsi bahwa pemborosan BBM disebabkan oleh penggunaan mobil pribadi yang berlebihan, maka untuk menyelesaikan masalah pemborosan BBM, kita bisa mengajukan tuntutan kenaikan pajak mobil pribadi yang diharapkan akan membatasi penggunaan mobil pribadi.

Selain itu, kenaikan harga BBM sekarang ini juga merupakan momen yang tepat untuk mempersoalkan kembali sepak terjang swasta, terutama swasta asing, dalam sektor minyak Indonesia. Tidak sulit untuk membayangkan siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh kenaikan harga BBM ini. Kalau harga BBM sudah seragam, sesuai dengan harga pasar, tidak ada lagi BBM bersubsidi dan non-subsidi, maka yang langsung mendapat keuntungan adalah pengecer minyak asing, seperti Shell, yang selama ini bersaing dengan Pertamina sebagai penyalur BBM bersubsidi. Semua ini tentu masih memerlukan pendiskusian lebih lanjut. Yang perlu disadari adalah bahwa sekalipun kita harus menolak kenaikan harga BBM, tapi hanya menolak saja sekarang ini sudah tidak cukup, kita juga harus mengajukan solusi alternatif.***

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) di http://www.prp-indonesia.org. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan


sumber :http://indoprogress.com/2012/03/07/harga-bbm-naik-rakyat-sengsara/

Lucky to be the one of this selection Program.....
pengalaman yang sangat berharga,,,,

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO IDONESIA DENGAN METODE AGGREGATE DEMAND APPROACH dan AGGREGATE SUPLY APPROACH


PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun dengan sendirinya kebutuhan konsumsi bertambah juga setiap tahun, maka dituhkan penambahan pendapatan setiap tahu. Selain itu permintaan, penawaran dan pertumbuhan peduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan), sebab jika tidak bergitu maka pertumbuahn ekonomi akan menyababkan kemiskinan.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja hanya dapat dicapai dengan peningkatan Output barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari pertumbuahan pada sisi permintaan agregat (AD) dan sisi penawaran agregat (AS)
Agregat Dari sisi AD, pergeseran kurvanya ke kanan yang mencerminkan permintaan di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, terdiri dari permintaan masyarakat, perusahaan dan pemerintah, meningkat. disebabkan oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti Tenaga kerja (L), modal (K) dan tanah (Tn) serta Energi (E). Juga dipengaruhi oleh peningkatan produktifitas dari faktor-faktor tersebut. Untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional, maka pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan. Untuk negara-negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi ditambah kenyataan bahwa penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan juga besar, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan lajunya harus jauh lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk agar peningkatan pendapatan masyarakat perkapita dapat tercapai.
Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan jumlah pekerja yang cepat dan merata. Pertumbuhan ekonomi juga harus disertai dengan program pembangunan sosial (ADB, 2004). Dan dalam makalah ini sya akan mencoba menganalisis pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan agregate demand Approach daam 5 tahun terakhir dimulai dari tahun 2005 sampai dengan 2010


PEMBAHASAN
Perkembangan PDB perkapita tahun
Produk Domestik Bruto Per Kapita, Produk Nasional Bruto Per Kapita dan Pendapatan Nasional Per Kapita,
2000-2009 (Rupiah)
Deskripsi
Tahun
2005
2006
2007
2008*
2009**
Atas Dasar Harga Berlaku


Produk Domestik Bruto Per Kapita
12,675,532.4
15,028,519.5
17,509,564.7
21,666,747.8
24,261,805.2
Produk Nasional Bruto Per Kapita
12,058,722.9
14,388,222.3
16,789,465.2
20,897,175.6
23,413,726.5
Pendapatan Nasional Per Kapita
11,179,505.7
13,195,094.0
15,416,788.7
19,509,073.2
21,483,003.1



Atas Dasar Harga Konstan 2000


Produk Domestik Bruto Per Kapita
7,999,375.0
8,313,200.7
8,705,503.8
9,112,050.7
9,409,085.8
Produk Nasional Bruto Per Kapita
7,508,754.2
7,800,772.4
8,171,190.0
8,689,356.3
8,934,436.8
Pendapatan Nasional Per Kapita
6,950,248.1
7,135,668.3
7,485,970.1
8,096,309.7
8,183,989.1

Laju Pertumbuhan Indeks Implisit Produk Domestik Bruto, 2004-2009 (Persen)
Jenis Pengeluaran
2005
2006
2007
2008*
2009**
Pengeluaran konsumsi rumah tangga
8.20
7.70
4.56
0.94
1.04
Pengeluaran konsumsi pemerintah
4.58
-3.51
0.64
-3.08
1.13
Pembentukan Modal Tetap Domestik
13.81
2.24
4.87
2.47
0.37
Perubahan inventori
9.13
1.82
4.06
-17.38
40.86
Ekspor barang dan jasa
-0.11
1.15
3.46
0.70
4.72
Dikurangi impor barang dan jasa
1.05
1.33
1.93
3.00
-4.61
PRODUK DOMESTIK BRUTO
8.58
2.25
3.16
0.82
1.83





Laju Pertumbuhan Indeks Implisit Produk Domestik Bruto, 2009 (Persen)

JENIS PENGELUARAN
2009*
I
II
III
IV




1.
Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga
0.27
0.27
1.51
1.04

a. Makanan
0.61
0.67
1.71
0.97

b. Bukan Makanan
-0.02
-0.10
1.38
1.10






2.
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (a+b-c)
8.69
9.87
-4.21
-0.34

a. Belanja Barang
-2.44
3.00
2.07
9.24

b. Belanja Pegawai + Penyusutan (NTB)
3.35
24.14
-7.53
0.41

c. Penerimaan Barang dan Jasa
8.69
9.87
-4.21
-0.34






3.
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
11.09
3.58
0.99
0.76

a. Bangunan
11.06
4.28
1.58
0.91

b. Mesin dan Perlengkapan Dalam Negeri
1.84
1.05
0.20
0.17

c. Mesin dan Perlengkapan Luar Negeri
0.23
-2.46
0.31
-0.08

d. Alat Angkutan Dalam Negeri
2.01
1.17
0.31
0.34

e. Alat Angkutan Luar Negeri
3.95
1.73
3.06
-9.76

f. Lainnya Dalam Negeri
2.34
2.75
1.89
0.86

g. Lainnya Luar Negeri
2.97
-1.28
-0.38
0.18






4.
Ekspor Barang dan Jasa
1.18
-2.46
-2.96
4.73

a. Barang
1.32
-1.60
-3.49
5.49

b. Jasa
0.16
-9.99
2.08
-3.91






5.
Dikurangi Impor Barang dan Jasa
-6.65
-3.25
4.56
-4.61

a. Barang
-9.76
-2.33
8.42
-4.56

b. Jasa
5.81
-6.13
-8.23
-5.27






6.
PRODUK DOMESTIK BRUTO
0.33
2.61
1.46
1.83







Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah)

Lapangan Usaha
2005
2006
2007
2008*
2009**
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
253,881.7
262,402.8
271,509.3
284,620.7
296,369.3
a. Tanaman Bahan Makanan
125,801.8
129,548.6
133,888.5
142,000.4
148,691.6
b. Tanaman Perkebunan
39,810.9
41,318.0
43,199.2
44,785.5
45,887.1
c. Peternakan
32,346.5
33,430.2
34,220.7
35,425.3
36,743.6
d. Kehutanan
17,176.9
16,686.9
16,548.1
16,543.3
16,793.8
e. Perikanan
38,745.6
41,419.1
43,652.8
45,866.2
48,253.2






2. Pertambangan dan Penggalian
165,222.6
168,031.7
171,278.4
172,442.7
179,974.9
a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
96,894.6
95,853.1
94,746.6
95,170.3
95,239.2
b. Pertambangan Bukan Migas
52,694.2
55,242.4
58,151.3
57,511.0
63,583.5
c. Penggalian
15,633.8
16,936.2
18,380.5
19,761.4
21,152.2






3. Industri Pengolahan
491,561.4
514,100.3
538,084.6
557,764.4
569,550.8
a.Industri Migas
48,658.8
47,851.2
47,823.0
47,662.7
46,611.2
1). Pengilangan Minyak Bumi
21,207.2
20,806.9
20,780.6
20,972.0
21,073.7
2). Gas Alam Cair (LNG)
27,451.6
27,044.3
27,042.4
26,690.7
25,537.5
b. Industri Bukan Migas
442,902.6
466,249.1
490,261.6
510,101.7
522,939.6
1). Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
121,395.6
130,148.9
136,722.4
139,921.9
155,720.0
2). Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 
54,277.1
54,944.2
52,922.5
50,994.0
51,265.4
3). Industri Kayu dan Produk Lainnya
20,138.5
20,006.2
19,657.6
20,335.8
20,039.2
4). Industri Produk Kertas dan Percetakan
23,944.2
24,444.8
25,861.0
25,477.2
27,074.2
5). Industri Produk Ppuk, Kimia dan Karet   
59,293.1
61,947.9
65,470.0
68,389.6
69,421.7
6). Industri Produk Semen dan Penggalian Bukan Logam 
15,618.1
15,700.1
16,233.3
15,990.7
15,889.4
7). Industri Logam Dasar Besi dan Baja
7,712.0
8,076.8
8,213.3
8,044.7
7,680.6
8). Industri Peralatan, Mesin dan PerlengkapanTransportasi
136,744.6
147,063.8
161,375.6
177,178.3
171,961.6
9). Produk Industri Pengolahan Lainnya
3,779.4
3,916.4
3,805.9
3,769.5
3,887.5






4. Listrik, Gas & Air Bersih
11,584.1
12,251.0
13,517.0
14,993.6
17,059.8
a. Listrik  
7,967.6
8,474.7
9,122.5
9,729.3
10,406.1
b. Gas
1,745.8
1,838.9
2,393.5
3,188.4
4,496.6
c. Air Bersih
1,870.7
1,937.4
2,001.0
2,075.9
2,157.1






5. Konstruksi
103,598.4
112,233.6
121,808.9
130,951.6
140,184.2






6. Perdagangan, Hotel & Restoran
293,654.0
312,518.7
340,437.1
363,813.5
367,958.8
a. Perdagangan Besar dan Eceran
241,887.1
257,845.0
282,115.8
301,936.6
301,983.5
b. Hotel
12,313.2
12,950.5
13,645.6
14,261.5
14,774.9
c. Restoran
39,453.7
41,723.2
44,675.7
47,615.4
51,200.4






7. Pengangkutan dan Komunikasi
109,261.5
124,808.9
142,326.7
165,905.5
191,674.0
a. Pengangkutan  
66,404.7
70,796.0
72,791.1
74,786.9
78,872.9
1). Angkutan Rel
585.3
623.0
631.0
721.3
672.0
2). Angkutan Jalan Raya
28,367.1
29,764.2
30,868.2
32,391.4
34,226.5
3). Angkutan Laut
8,855.8
9,497.4
9,278.7
8,809.7
8,589.7
4). Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
2,342.7
2,431.9
2,512.5
2,631.8
2,763.9
5). Angkutan Udara
10,362.3
11,466.2
12,385.3
13,044.4
14,564.3
6). Jasa Penunjang Angkutan
15,891.5
17,013.3
17,115.4
17,188.3
18,056.5
b. Komunikasi
42,856.8
54,012.9
69,535.6
91,118.6
112,801.1






8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
161,252.2
170,074.3
183,659.3
198,799.6
208,832.2
a. Bank
71,366.9
72,474.4
78,241.0
84,039.5
86,057.5
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank
13,074.9
14,009.2
15,149.8
16,518.1
17,775.1
c. Jasa Penunjang Keuangan
1,128.3
1,213.5
1,331.0
1,376.3
1,472.7
d. Real Estat
47,714.6
51,755.3
55,819.1
60,775.4
63,957.6
e. Jasa Perusahaan
27,967.5
30,621.9
33,118.4
36,090.3
39,569.3






9. Jasa-jasa
160,799.3
170,705.4
181,706.0
193,024.3
205,371.5
a. Pemerintahan Umum
73,700.1
76,618.4
80,778.2
84,377.9
88,683.2
1). Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan
46,889.6
48,644.3
51,148.9
53,230.7
55,845.8
2). Jasa Pemerintahan Lainnya
26,810.5
27,974.1
29,629.3
31,147.2
32,837.4
b. Swasta
87,099.2
94,087.0
100,927.8
108,646.4
116,688.3
1). Jasa Sosial Kemasyarakatan
22,604.5
24,178.0
25,777.4
27,601.1
29,621.5
2). Jasa Hiburan dan Rekreasi
6,713.1
7,246.7
7,751.8
8,378.4
9,065.1
3). Jasa Perorangan dan Rumah tangga
57,781.6
62,662.3
67,398.6
72,666.9
78,001.7






Produk Domestik Bruto  
1,750,815.2
1,847,126.7
1,964,327.3
2,082,315.9
2,176,975.5
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas
1,605,261.8
1,703,422.4
1,821,757.7
1,939,482.9
2,035,125.1

Laju Pertumbuhan Produk Domestik BrutoAtas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen)

Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007*
2008**
-(1)
-(2)
-(3)
-(4)
-(5)
-(6)
1. Agriculture, Livestock, Forestry and Fishery
2.82
2.72
3.36
3.43
4.77
a. Tanaman Bahan Makanan
2.89
2.60
2.98
3.35
5.91
b. Tanaman Perkebunan
0.40
2.48
3.79
4.40
3.84
c. Peternakan
3.35
2.13
3.35
2.36
3.89
d. Kehutanan
1.28
-1.47
-2.85
-1.10
-0.39
e. Perikanan
5.56
5.87
6.90
5.39
4.81






2. Pertambangan dan Penggalian
-4.48
3.20
1.70
2.02
0.51
a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
-4.32
-1.77
-1.07
-1.14
0.46
b. Pertambangan Bukan Migas
-7.96
12.24
4.84
5.48
-1.53
c. Penggalian
7.46
7.69
8.33
8.60
7.27






3. Industri Pengolahan
6.38
4.60
4.59
4.67
3.66
a. Industri Migas
-1.95
-5.67
-1.66
-0.06
-0.33
1). Pengilangan Minyak Bumi
-0.23
-5.00
-1.89
-0.13
0.93
2). Gas Alam Cair (LNG)
-3.22
-6.19
-1.48
-0.01
-1.30
b. Industri Bukan Migas
7.51
5.86
5.27
5.15
4.05
1). Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
1.39
2.75
7.21
5.05
2.34
2). Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 
4.06
1.31
1.23
-3.68
-3.64
3). Industri Kayu dan Produk Lainnya
-2.07
-0.92
-0.66
-1.74
3.45
4). Industri Produk Kertas dan Percetakan
7.61
2.39
2.09
5.79
-1.48
5). Industri Produk Ppuk, Kimia dan Karet   
9.01
8.77
4.48
5.69
4.46
6). Industri Produk Semen dan Penggalian Bukan Logam 
9.53
3.81
0.53
3.40
-1.49
7). Industri Logam Dasar Besi dan Baja
-2.61
-3.70
4.73
1.69
-2.05
8). Industri Peralatan, Mesin dan PerlengkapanTransportasi
17.67
12.38
7.55
9.73
9.79
9). Produk Industri Pengolahan Lainnya
12.77
2.61
3.62
-2.82
-0.96






4. LIstrik, Gas dan Air Bersih
5.30
6.30
5.76
10.33
10.92
a. Listrik
5.13
6.68
6.36
7.64
6.65
b. Gas
9.40
6.48
5.33
30.16
33.21
c. Air Bersih
2.47
4.53
3.57
3.29
3.74






5. Konstruksi
7.49
7.54
8.34
8.61
7.31






6. Perdagangan, Hotel & Restoran
5.70
8.30
6.42
8.41
7.23
a. Perdagangan Besar dan Eceran
5.52
8.82
6.60
8.78
7.49
b. Hotel
7.93
6.23
5.18
5.37
4.07
c. Restoran
6.08
5.88
5.75
7.08
6.58






7. Pengangkutan dan Komunikasi
13.38
12.76
14.23
14.04
16.69
a. Pengangkutan
8.76
6.25
6.61
2.82
2.71
1). Angkutan Rel
-0.92
-2.98
6.44
1.28
14.31
2). Angkutan Jalan Raya
4.99
4.84
4.93
3.71
4.93
3). Angkutan Laut
3.63
8.75
7.24
-2.30
-5.05
4). Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
4.11
3.94
3.81
3.33
3.94
5). Angkutan Udara
30.07
10.42
10.65
8.02
5.32
6). Jasa Penunjang Angkutan
8.73
5.56
7.06
0.60
0.41
b. Komunikasi
22.88
24.58
26.03
28.74
31.32






8. Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
7.66
6.70
5.47
7.99
8.24
a. Bank
6.02
4.50
1.55
7.96
7.41
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank
9.24
8.35
7.15
8.14
9.03
c. Jasa Penunjang Keuangan
9.18
6.66
7.55
9.68
3.40
d. Real Estat
8.89
8.17
8.47
7.85
8.88
e. Jasa Perusahaan
9.23
9.28
9.49
8.15
8.97






9. Jasa-jasa
5.38
5.16
6.16
6.60
6.45
a. Pemerintahan Umum
1.65
1.90
3.96
5.43
4.46
1). Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan
1.46
1.81
3.74
5.15
4.07
2). Jasa Pemerintahan Lainnya
2.00
2.06
4.34
5.92
5.12
b. Swasta
8.96
8.09
8.02
7.55
8.03
1). Jasa Sosial dan Kemasyarakatan
7.78
7.22
6.96
7.63
8.41
2). Jasa Hiburan dan Rekreasi
8.34
6.52
7.95
7.26
8.70
3). Jasa Perorangan dan Rumahtangga
9.51
8.62
8.45
7.56
7.81






Produk Domestik Bruto
5.03
5.69
5.50
6.28
6.06
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas
5.97
6.57
6.11
6.87
6.52





I.                   PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2005
Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 tumbuh sebesar 5,6%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2004 sebesar 5,1%. Dari sisi permintaan, kegiatan ekonomi didukung oleh peningkatan pertumbuhan permintaan domestik yang dibarengi dengan penurunan impor yang tajam. Dari sisi sektoral, pertumbuhan disumbang oleh sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan. Meskipun secara keseluruhan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi pertumbuhan
tersebut masih di bawah perkiraan semula dan cenderung melambat setelah triwulan II-2005 seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap kestabilan makroekonomi. Tingginya harga minyak dunia dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter global menimbulkan tekanan yang kuat terhadap kondisi fiskal dan neraca pembayaran akibat pola ekspansi perekonomian yang relatif masih rentan. Seiring dengan kondisi tersebut, tambahan angkatan kerja baru tidak sepenuhnya mampu terserap sehingga tingkat pengangguran meningkat dan distribusi pendapatan semakin timpang.

PERMINTAAN AGREGAT
Pada tahun 2005 ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi dibanding tahun 2004.Kinerja perekonomian dari sisi permintaan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada paro pertama 2005, namun seiring dengan meningkatnya tekanan eksternal pada paro kedua pertumbuhan ekonomi mulai mengalami perlambatan. Permintaan domestik masih memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan secara cukup signifikan, sementara sumbangan ekspor cenderung menurun. Pada saat yang bersamaan impor mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam.Konsumsi total pada tahun 2005 tumbuh lebihrendah dibanding tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi total terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta, sementara konsumsi pemerintah tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan konsumsi swasta yang melambat pada tahun 2005 terjadi pada konsumsi bukan makanan. Sementara itu, konsumsi pemerintah yang meningkat pada tahun 2005 terutama terjadi pada belanja lainnya, dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), serta belanja pegawai. Konsumsi swasta tumbuh 3,95% pada tahun laporan, lebih rendah dibanding tahun 2004 sebesar 4,97%. Melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta ini terkait dengan pendapatan riil masyarakat yang menurun. Di samping itu penurunan pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian yang memburuk seiring dengan kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 serta depresiasi nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga kredit konsumsi. Sementara itu, stimulus fiskal yang diharapkan dapat mengimbangi turunnya daya beli rumah tangga tumbuh relatif terbatas. Ekspansi fiskal terutama baru dilakukan pada triwulan III dan IV 2005, antara lain berupa penyaluran subsidi langsung tunai (SLT) dan beras miskin. Perlambatan pertumbuhan konsumsi terutama terjadi pada konsumsi bukan makanan yang bersifat elastic terhadap perubahan pendapatan. Konsumsi bukan makanan tumbuh sebesar 5,42%, lebih rendah disbanding tahun 2004 sebesar 8,27%, seperti tercermin pada turunnya pembelian kendaraan penumpang dan sepeda motor, barang elektronik, dan pakaian. Pembelian kendaraan penumpang pada tahun 2005 tumbuh sebesar 15,3%, turun jauh dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 46,8%. Pada periode waktu yang sama, pembelian sepeda motor yang semula tumbuh sebesar 40,1% juga turun menjadi sebesar  30,8%.Pembelian barang elektronik berupa televisi dan mesin cuci bahkan terkontraksi yaitu Masing-masing tumbuh sebesar -11,46% dan -10,47%. Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat keyakinan konsumen. Hasil Survei konsumen BI dan Survei Tendensi Konsumen (ITK) BPS menunjukkan tingkat keyakinan konsumen masih pesimis. Indeks keyakinan rata-rata survei konsumen tahun 2005 sebesar 93,7, turun dibandingkan tahun 2004 sebesar 97,9. Penurunan keyakinan konsumen dipengaruhi oleh turunnya keyakinan konsumen atas kemampuan daya beli dan pendapatannya. Sementara itu, ITK rata-rata pada periode waktu yang sama turun lebih besar, yaitu dari 113,6 pada tahun 2004 menjadi 96,0. Indeks penjualan eceran Survei Penjualan Eceran BI juga menunjukkan trend menurun, terutama memasuki triwulan IV 2005. Dari sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan
konsumsi tercermin dari menurunnya pertumbuhan kredit konsumsi dan pembiayaan nonbank. Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat seiring dengan meningkatnya suku bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2005 meningkat sebesar 36,8%, turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 38,1%. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari 44,9% menjadi 21,6% pada tahun 2005 (Grafik 2.6). Sementara itu, konsumsi pemerintah pada tahun 2005 tumbuh lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 3,99% menjadi 8,06%. Secara keseluruhan, ekspansi pengeluaran pemerintah didominasi oleh pengeluaran konsumsi dan transfer. Ekspansi konsumsi pemerintah terutama baru terlihat pada semester II tahun 2005 karena adanya kendala teknis administratif yang terkait dengan implementasi sistem anggaran yang baru. Kenaikan konsumsi pemerintah pada tahun 2005 terutama bersumber dari kenaikan belanja lainnya, belanja untuk DAU dan DBH serta kenaikan belanja pegawai khususnya terkait dengan pembayaran gaji ke 13.
Investasi pada tahun 2005 tumbuh sebesar 9,93%, turun dari tahun sebelumnya sebesar 14,68%.
Perlambatan tersebut terutama terjadi pada pertumbuhan investasi non bangunan yang terus menurun sejak awal tahun 2005 dengan akselerasi penurunan yang meningkat pada triwulan III dan IV, sementara pertumbuhan investasi bangunan relatif konstan pada level yang relatif rendah
(Grafik 2.8.) Perlambatan pertumbuhan pada komponen investasi non bangunan tercermin pada perlambatan pengadaan mesin dan perlengkapannya, dan perlambatan pertumbuhan pengadaan truk dan alat berat. Pertumbuhan penjualan truk menurun dari 33.0% pada tahun 2004 menjadi -0,9% pada tahun 2005. Secara fundamental perlambatan pertumbuhan investasi dipengaruhi oleh tekanan yang berasal dari ekternal maupun internal. Kenaikan harga minyak dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter dunia berdampak pada kenaikan biaya produksi dan investasi. Iklim investasi yang belum kondusif, antara lain belum tuntasnya beberapa produk hukum dan minimnya infrastruktur turut menyumbang terhadap perlambatan pertumbuhan investasi (Boks: Tantangan Mendorong Peningkatan Investasi). Persepsi pelaku usaha terhadap kecenderungan melemahnya konsumsi juga berpengaruh pada perlambatan kegiatan investasi sektor swasta. Selain itu, pengeluaran pemerintah yang diharapkan dapat menjadi salah satu stimulus pertumbuhan investasi terkendala oleh pelaksanaan format baru APBN dan keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran. Sementara itu, pertumbuhan investasi bangunan yang pada tahun 2005 diharapkan dapat tumbuh tinggi ternyata tumbuh sedikit melambat. Investasi bangunan tumbuh sebesar 7,49% pada tahun 2004, turun menjadi sebesar 6,17% pada tahun 2005. Rendahnya realisasi investasi bangunan tersebut selain disebabkan oleh memburuknya iklim usaha, juga dipengaruhi oleh meningkatnya ongkos produksi dan rendahnya realisasi proyek infrastruktur. Berkaitan dengan proyek infrastruktur, dari 91 proyek infrastruktur yang ditawarkan oleh pemerintah senilai US$22,5 miliar, hanya 5 proyek yang telah memasuki tahap konstruksi. Sementara itu, sebanyak 28 proyek masih dalam tahap persiapan tender dan 15 proyek sudah ditetapkan pelaksanaannya. Beberapa hal yang mempengaruhi rendahnya realisasi proyek infrastruktur antara lain adalah kurangnya payung hukum, beberapa di antaranya baru selesai pada akhir tahun 2005. Perlambatan pertumbuhan investasi bangunan dikonfirmasi oleh perlambatan pertumbuhan penjualan semen dari 9,1% menjadi 4,7%. Disamping kenaikan biaya produksi dan meningkatnya sukubunga kredit, perlambatan pertumbuhan investasi tidak terlepas dari memburuknya persepsi pelaku bisnis yang tercermin dari hasil berbagai survei. Survei Tendensi Bisnis BPS dan Survei Bisnis Sentimen JETRO menunjukkan Indeks Tendesi Bisnis (ITB) BPS dan diffusion index JETRO turun dibandingkan dengan indeks pada tahun 2004 (Grafik 2.11 dan 2.12). Hasil survei JETRO menunjukkan bahwa kelompok industry I (oil, chemical, stell, and metal), kelompok Industri III (transportation and machinery) dan kelompok industry IV (other manufacturing bisnis) mencatat penurunan sentimen yang cukup tinggi. Sementara itu, pada kelompok industri II (electronic) sentimen pelaku bisnis membaik. Dari sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan investasi tercermin pada perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi baik yang berasal dari perbankan maupun nonbank. Pada tahun 2005,  kredit investasi yang berasal dari perbankan tumbuh 13,2%, melambat dibandingkan tahun 2004 yang tumbuh 25,6%. Di tengah perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi, patut dicermati bahwa pangsa pembiayaan investasi UMKM mengalami peningkatan. Sementara itu pembiayaan investasi yang berasal dari penjualan obligasi korporasi hanya terealisasi sebesar Rp8,3 triliun, lebih rendah dari tahun 2004 dengan realisasi penjualan obligasi sebesar Rp19,2 triliun. Dari hasil penjualan obligasi korporasi tersebut hanya sebagian kecil yang digunakan untuk membiayai investasi, sebagian besar digunakan untuk membiayai modal kerja. Sementara itu, sumber pembiayaan investasi lainnya, yaitu dari foreign direct investment diperkirakan tumbuh tidak terlalu tinggi. Namun demikian, melambatnya pertumbuhan kredit investasi perbankan dan sumber pembiayaan pasar modal tidak terefleksi pada kondisi kesenjangan tabunganinvestasi (saving-investment gap). Nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB menurun
dari 1,2% menjadi 0,8%. Penurunan surplus kesenjangan tabungan-investasi ini berasal dari penurunan surplus kesenjangan tabungan √ investasi pada sektor swasta, sementara sektor pemerintah mengalami penurunan defisit. Kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi pembiayaan investasi dari swasta masih belum sepenuhnya digunakan (Tabel 2.4) (Boks:Pembiayaan Pertumbuhan Ekonomi 2005). Dengan melambatnya pertumbuhan investasi, kapasitas perekonomian diperkirakan relatif belum mengalami peningkatan yang signifikan. Sementara itu, kondisi pertumbuhan stok kapital juga masih relatif lambat, yaitu berkisar 0-0,5%  (periode setelah krisis), sehingga membatasi upaya peningkatan produksi. Dengan kondisi tersebut, kemampuan sisi penawaran dalam merespon perkembangan sisi permintaan menjadi terbatas. Sejalan dengan itu, kesenjangan output (output gap) dalam perekonomian nasional menunjukkan arah yang semakin menyempit, meskipun masih negatif1. Kecenderungan output gap yang menyempit ini didukung oleh angka pertumbuhan stok kapital yang lebih lambat, sementara rasio investasi terhadap PDB hanya sedikit meningkat. Meskipun ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya, efisensi penggunaan kapital cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan teknologi dan perbaikan kualitas SDM. Angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR)2 mengalami penurunan (perbaikan). ICOR pada tahun 2005 tercatat sebesar 4.2, lebih rendah dari angka pada tahun 2004 sebesar 4.5. Penurunan ICOR tersebut mencerminkan perbaikan efisiensi perekonomian antara lain terkait dengan meningkatnya penanaman modal di sektor-sektor yang padat teknologi dan membutuhkan tenaga terampil. Untuk PMA berdasarkan realisasi Izin Usaha Tetap (IUT) yang dikeluarkan BKPM, sektor yang diminati investor antara lain sektor transportasi, gudang & komunikasi; Industri kimia dan farmasi; industri logam, mesin dan elektronik; dan konstruksi. Sementara itu untuk PMDN, sektor yang diminati antara lain sektor konstruksi; industry makanan; industri mineral nonlogam; industri logam, mesin dan elektronik. Peningkatan tenaga kerja terampil Sumber : BPS, diolah antara lain tercermin dari meningkatnya jumah tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas. Sementara itu, peningkatan produktivitas tenaga kerja yang tinggi juga terjadi pada sektor-sektor yang padat modal dan teknologi. Di sisi eksternal, ekspor barang dan jasa pada tahun 2005 tumbuh 8,6%, turun dibanding tahun 2004 sebesar 13,50%. Perlambatan tersebut terkait dengan kondisi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan permasalahan lemahnya daya saing. Pada komoditi nonmigas, perlambatan pertumbuhan terjadi pada kelompok barang mineral dan kelompok barang pertanian. Penurunan pada kelompok barang mineral antara lain terjadi pada komoditi nikel dan batubara, yang terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan dunia terhadap kedua komoditi tersebut, dan khusus untuk batu bara juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dalam negeri . Pada kelompok barang pertanian, penurunan volume ekspor antara lain terjadi pada produk perkayuan. Volume ekspor pada kelompok barang manufaktur meningkat antara lain dipengaruhi oleh depresiasi rupiah dan masih cukup tingginya permintaan pada beberapa komoditi seperti produk-produk karet, minyak kelapa sawit, dan produk elektronik. Sementara itu, pada komoditi migas, volume ekspor minyak mengalami penurunan, seiring dengan rendahnya ekplorasi ladang minyak yang baru dan berkurangnya produktifitas sumur-sumur yang sudah ada. Selain kecenderungan melemahnya permintaan dan daya saing, melambatnya pertumbuhan ekspor juga terkait dengan pelaksanaan ekspor yang kurang efisien. Survei World Bank menunjukkan bahwa aktifitas ekspor Indonesia masih kurang kompetitif dibandingkan dengan negaranegara kompetitor utama. Kelemahan tersebut antara lain berupa tingginya jumlah waktu untuk ekspor barang (25 hari), banyaknya dokumen ekspor yang harus dipenuhi (7 dokumen). Pada saat ini upaya-upaya pembenahan secara bertahap sudah mulai dilaksanakan, diantaranya pengurangan jumlah jembatan timbang dan perbaikan  infrastruktur yang dapat mendukung kelancaran pengiriman barang. Pada tahun 2005, pertumbuhan impor barang dan jasa melambat cukup signifikan dari 27,07% pada tahun 2004 menjadi 12,35%. Perlambatan pertumbuhan impor tersebut dipengaruhi oleh permintaan domestik, khususnya investasi yang juga tumbuh melambat. Dilihat dari kelompok barang, perlambatan pertumbuhan terutama terjadi pada impor bahan baku dan bahan setengah jadi, serta impor barang modal untuk peralatan transport industri. Komoditas impor barang modal dan barang setengah jadi yang tumbuh melambat antara lain adalah bahan mentah yang sudah diproses untuk industri; suku cadang dan asesori untuk barang modal; suku cadang dan asesori untuk perlengkapan transpor; dan makanan dan minuman primer untuk industri. Secara sektoral perlambatan tersebut terkait erat dengan perlambatan pertumbuhan beberapa sub sector industri pengolahan yang memiliki kandungan impor cukup tinggi, seperti industri mesin dan peralatan; industry alat angkutan, mesin dan peralatannya; industri tekstil, kulit dan dan alas kaki; dan industri kertas dan barang cetakan.

PENAWARAN AGREGAT
Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi mencatat pertumbuhan positif. Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan tersebut berasal dari sector perdagangan, sektor industri pengolahan dan sector pengangkutan dan komunikasi. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa pertumbuhan pada sektor industry pengolahan dan pertanian √ sebagai sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan pajak, serta memiliki kaitan backward dan forward linkage yang tinggi√ mengalami perlambatan. Sektor Industri Pengolahan tumbuh 4,63%, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya 6,2%. Perlambatan pertumbuhan di sektor industri pengolahan terjadi pada hampir semua subsektor, kecuali pada subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau. Perlambatan tersebut dipicu oleh kenaikan harga BBM, depresiasi nilai tukar, terbatasnya pembiayaan usaha, iklim usaha, dan penurunan pendapatan riil masyarakat. Kondisi yang kurang menguntungkan tersebut mendorong dunia usaha untuk melakukan berbagai penyesuaian diantaranya menurunkan volume produksi dan marjin keuntungan, serta meningkatkan efisiensi usaha. Perlambatan pertumbuhan sektor industry pengolahan tercermin pada hasil survei produksi yang menunjukkan penurunan indeks produksi sejak pertengahan 2005. Kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya pada tahun 2005 tumbuh 12,4%, melambat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 17,7% Perlambatan pertumbuhan pada kelompok industri ini terutama didorong oleh depresiasi rupiah terkait dengan besarnya kandungan impor dan penurunan daya beli masyarakat. Produksi mobil dan motor mengalami perlambatan pertumbuhan yang akselerasinya meningkat pada triwulan IV 2005 terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga nominal kredit.Sementara itu, untuk industri elektronika, kendala yang dihadapi juga terkait dengan maraknya penyelundupan dan pengenaan bea masuk komponen produk rata-rata sebesar 20% yang menyebabkan kurang kompetitifnya produk domestic dibandingkan produk impor asal negara ASEAN yang hanya dikenakan tarif bea masuk sebesar 0-5%. Kelompok industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki pada tahun 2005 tumbuh sebesar 1,28%, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 4,06%. Faktor utama yang mempengaruhi perlambatan pertumbuhan subkelompok industri tekstil dan alas kaki selain permasalahan umum yang dihadapi industry pengolahan di atas adalah maraknya produk sejenis berharga murah dari Cina di pasar domestik. Namun demikian, kinerja perusahaan tekstil dan alas kaki yang berorientasi ekspor masih didukung oleh kondusifnya pasar ekspor. Sementara itu beberapa kelompok industri yang mencatat peningkatan pertumbuhan pada tahun 2005 adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Meningkatnya kinerja subsektor industri makanan, minuman dan tembakau terkait dengan karakteristik permintaan produk makanan yang cenderung kurang elastis terhadap perubahan pendapatan. Peningkatan subsektor ini didukung pula oleh hasil survei penjualan eceran yang menunjukkan peningkatan. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh 8,59%, naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya 5,69%. Pertumbuhan yang tinggi tersebut terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sub sector  perdagangan yang memiliki kotribusi terbesar pada sector ini. Subsektor perdagangan tumbuh sebesar 9,15%, naik dari tahun 2004 sebesar 5,50%. Omset penjualan anggota Asosiasi Penjualan Retail Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan pencapai Rp41,0 triliun, naik dari  tahun sebelumnya sebesar Rp35 triliun. Pesatnya pertumbuhan sub sektor perdagangan tercermin dari meningkatnya jumlah pasar modern, baik hypermarket, supermarket, maupun pusat perdagangan modern yang lain,Selain itu, pertumbuhan di sector perdagangan juga didukung oleh peningkatan kegiatan usaha UMKM sektor perdagangan, yang antara lain tercermin pada peningkatan pertumbuhan pembiayaan kredit UMKM perbankan dari 27,4% pada tahun 2004 menjadi 30,2% pada tahun 2005. Sementara itu, di subsektor hotel dan restoran mengalami perlambatan pertumbuhan, dari 7,93%
menjadi 6,69%. Perlambatan tersebut antara lain dipengaruhi oleh turunnya jumlah kunjungan wisatawan. Penurunan yang cukup signifikan terjadi padadaerah kunjungan wisata Bali dan Batam, terutama pasca terjadinya peristiwa bom Bali di awal Oktober 2005. Sementara itu, dilihat dari rata-rata lama tinggal (average of stay) dan tingkat hunian hotel (occoupancy rate), perkembangan di 2005 tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan di sub sektor hotel, sub sektor restoran juga mengalami pertumbuhan yang melambat. Sektor Pertanian mencatat pertumbuhan sebesar 2,49%, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 3,26%. Perlambatan tersebut terjadi pada semua subsektor kecuali subsektor perkebunan. Kelompok tanaman pangan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun 2004 yang disebabkan oleh berkurangnya luas area panen padi dari 11.922.974 Ha menjadi 11.800.000 Ha. Turunnya luas areal panen tersebut antara lain dipengaruhi oleh kurangnya insentif bagi petani padi akibat tingginya biaya produksi yang tidak dikuti oleh peningkatan harga jual yang sepadan. Sementara itu, perlambatan pertumbuhan di subsector peternakan dan subsektor perikanan disebabkan oleh kenaikan biaya produksi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga BBM. Khusus sub sector peternakan, wabah flu burung turut berpengaruh terhadap kinerja subsektor ini. Gencarnya upaya Pemerintah dalam menindak pembalakan liar menyebabkan perlambatan pertumbuhan di subsector kehutanan Sektor Pertambangan mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dari -4,48% menjadi 1,59%. Perbaikan pertumbuhan ditopang oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor pertambangan tanpa migas (7,76%) dan subsektor penggalian (7,32%) karena adanya peningkatan permintaan (Grafik 2.26). Sementara itu, untuk subsektor minyak dan gas bumi menunjukkan perbaikan walaupun masih tumbuh negatif. Perbaikan tersebut dipengaruhi oleh upaya-upaya intensif yang dilakukan oleh instansi yang berwewenang sehingga kapasitas produksi tetap tinggi, walaupun dihadapkan pada kurangnya eksplorasi sumur minyak dan turunnya produktivitas sumur-sumur yang sudah tua  sektor transportasi dan komunikasi pada tahun laporan masih mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi (12,97%), namun sedikit melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (13,38%). Pertumbuhan yang masih cukup tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan yang tinggi pada sub sektor telekomunikasi Jumlah pelanggan telepon baik seluler maupun fixed line yang meningkat di atas 30% mengkonfirmasi kinerja subsektor ini. Sebaliknya, subsektor transportasi sangat terpengaruh oleh kenaikan harga BBM, sehingga pada tahun laporan mengalami pertumbuhan yang melambat, yaitu hanya tumbuh 6,32%, dibanding 8,76% pada tahun 2004. perlambatan yang cukup signifikan terutama terjadi pada komponen angkutan udara yang tercermin dari jumlah penumpang domestik yang cenderung menurun pada tahun 2005. Pada tahun 2005 sektor bangunan tumbuh melambat (7,34%), lebih rendah dari tahun lalu (7,49%). Perlambatan tersebut tercermin dari menurunnya pertumbuhan penjualan semen, melambatnya pertumbuhan kredit properti komersial, dan rendahnya realisasi proyek Pemerintah yang terkendala oleh masalah administrasi. Sebaliknya, di sektor swasta berbagai proyek properti komersial masih mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti apartemen dan pusat perbelanjaan. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum mencatat peningkatan pertumbuhan yang cukup tinggi, dari 5,2% pada tahun 2004 menjadi 6,5% pada tahun 2005. Peningkatan pertumbuhan pada sektor Listrik, Gas, dan Air Minum antara lain tercermin dari konsumsi listrik yang masih meningkat seiring dengan kegiatan ekonomi yang secara umum masih cukup baik. Dari sisi pasokan, adanya tambahan pasokan listrik baru sebesar 443 MW yang berasal dari 11 unit pembangkit listrik baru3 dipastikan memberikan kontribusi yang cukup besar pada pertumbuhan di sektor ini. Kinerja perekonomian Indonesia juga tercermin dalam perspektif ekonomi regional. Secara keseluruhan pertumbuhan disetiap zona ekonomi mengindikasikan perlambatan walaupun masih lebih baik dari kinerja tahun 2004. Zona Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Kali- Sulampua) mencatat pertumbuhan PDB tertinggi dibandingkan zona lainnya. Sementara itu zona Sumatera, mengalami peningkatan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan zona lainnya (Boks: Tinjauan Ekonomi Regional).








II.                PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2006

Perekonomian Indonesia tahun 2006 berada dalam tren yang membaik sejak pertengahan tahun, setelah sebelumnya sempat melemah terutama akibat penurunan daya beli masyarakat pascakenaikan harga BBM Oktober 2005. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,5% banyak didorong peningkatan stimulus fiskal serta kinerja ekspor yang tetap tinggi sehingga dapat menahan dampak pelemahan daya beli masyarakat tersebut. Secara sektoral, peningkatan pertumbuhan terutama terjadi pada kelompok sektor primer dan kelompok sektor jasa. Kuatnya peran kedua faktor tersebut dalam perkembangannya mendorong percepatan pemulihan kegiatan ekonomi sejak paro kedua tahun 2006. Namun demikian, beberapa permasalahan struktural yang terjadi di tingkat mikro secara umum mengakibatkan efektivitas stimulus kebijakan makroekonomi dalam meningkatkan kinerja perekonomian menjadi tidak optimal. Sebagai dampak lanjutannya, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 tidak dibarengi perbaikan berarti pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan serta pengurangan
ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat

PERMINTAAN AGREGAT
Perkembangan komponen PDB berdasarkan pengeluaran secara umum mencerminkan peran positif stimulus fiskal, dampak peningkatan harga komoditas primer dunia, dan pengaruh penurunan daya beli masyarakat. Konsumsi Pemerintah meningkat cukup tinggi sejalan dengan  langkah-langkah stimulus fiskal. Sementara itu, konsumsi swasta tumbuh melambat akibat melemahnya daya beli masyarakat pascakenaikan harga BBM, pada Oktober 2005. Pertumbuhan investasi juga melambat sejalan dampak penurunan daya beli masyarakat dan akibat belum membaiknya iklim investasi. Perkembangan investasi ini menyebabkan pangsainvestasi dalam pembentukan PDB 2006 menurun dibandingkan pangsanya pada 2005. Pada sisi lain, ekspor tetap tumbuh tinggi sejalan dengan respons pelaku domestik terhadap kenaikan harga komoditas
primer. Sementara itu, impor tumbuh melambat terutama pada paro pertama 2006 sejalan dengan melemahnya permintaan domestic Pertumbuhan konsumsi Pemerintah yang cukup tinggi dipengaruhi oleh arah kebijakan fiskal yang cenderung ekspansif3Ω. Konsumsi Pemerintah meningkat mencapai 9,6% (yoy) bila dibandingkan 6,6% (yoy) pada 2005. Berdasarkan komponennya konsumsi Pemerintah tersebut banyak bersumber pada belanja pegawai, belanja lainnya, dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil (DBH). Selain itu, peningkatan konsumsi Pemerintah juga ditopang oleh stimulus BLT yang meningkat sejalan dengan respons kebijakan untuk menahan penurunan daya beli masyarakat. Pengaruh penurunan daya beli Terhadap konsumsi swasta cukup kuat. Di tengah penurunan daya beli tersebut, yang antara lain tercermin pada penurunan indeks upah riil buruh, pertumbuhan konsumsi swasta melambat dari 4,0%(yoy) menjadi 3,2%(yoy) meskipun telah terdapat stimulus fiscal. Namun demikian, dalam perkembangannya konsumsi swasta kembali dalam tren meningkat terutama mulai pertengahan 2006. Tren peningkatan konsumsi swasta ini antara lain tercermin pada pertumbuhan M1 riil yang juga cenderung meningkat pada periode yang sama. Pengaruh kuat penurunan daya beli terhadap konsumsi juga tercermin dari perkembangan komponen konsumsi swasta. Penurunan daya beli masyarakat mengakibatkan konsumsi swasta untuk kelompok bukan makanan tumbuh melambat cukup dalam dari 5,4% pada 2005 menjadi 4,1%. Sementara itu, pertumbuhan konsumsi swasta untuk komponen makanan menurun sedikit dari 2,4% menjadi 2,1% pada 2006. Penurunan konsumsi bukan makanan tercermin dari lebih rendahnya penjualan beberapa barang tahan lama seperti kendaraan penumpang, sepeda motor dan barang elektronik. Secara tahunan penjualan kendaraan penumpang pada 2006 tumbuh negatif 40,2% atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 10,74%. Demikian pula, penjualan sepeda motor dan barang elektronik selama 2006 tumbuh negatif masing-masing 12,8% dan 5,3%, dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh positif 30,5% dan 5,5% Pelambatan konsumsi swasta juga dipengaruhi oleh penurunan keyakinan konsumen terhadap prospek ekonomi. Keyakinan konsumen, khususnya sampai dengan paro pertama 2006, terindikasi menurun seperti diperlihatkan hasil survei tentang keyakinan konsumen di Survei Konsumen-Bank Indonesia (BI) dan Survei Tendensi Konsumen-Badan Pusat Statistik (BPS). Beberapa komponen penting yang mempengaruhi perkembangan tersebut antara lain keyakinan konsumen atas penghasilan, ketepatan pembelian barang tahan lama dan kondisi ekonomi saat ini yang secara umum dalam arah menurun. Selain itu, pengaruh kebijakan moneter ketat juga mempengaruhi pelambatan konsumsi swasta tersebut. Suku bunga kredit yang tinggi mengakibatkan sumber pembiayaan konsumsi dari perbankan juga menurun. Kredit konsumsi pada 2006 hanya tumbuh rendah 18,1% dibandingkan tahun sebelumnya 36,8%4Ω. Investasi, khususnya investasi swasta, juga melambat sejalan dengan berkurangnya daya dorong permintaan domestik akibat penurunan daya beli dan arah kebijakan moneter ketat yang sedang ditempuh. Total investasi pada 2006 tumbuh sebesar 2,9% atau melambat dari tahun sebelumnya sebesar 10,8%. Pengaruh kuat penurunan daya beli tersebut khususnya terjadi pada investasi nonbangunan yang mencatat pertumbuhan negative 12,8% dibandingkan pertumbuhan positif yang cukup tinggi sebesar 20,5% pada 2005. Sementara itu, investasi bangunan tetap tumbuh cukup tinggi mencapai 9,0%. Pelambatan investasi antara lain tercermin dari pelambatan kredit investasi yang tumbuh dari 18,0% menjadi 12,5% . Pelambatan pertumbuhan investasi juga  dipengaruhi menurunnya persepsi pelaku dunia usaha terhadap prospek penanaman modal sejalan dengan penurunan daya beli tersebut. Beberapa survei seperti Survei Kegiatan Dunia Usaha-BI (Tabel 2.3), survei JETRO dan Indeks Tendensi Bisnis-BPS secara umum  mengindikasikan penurunan keyakinan berusaha investor. Perbaikan keyakinan investor terindikasi mulai meningkat sejak paro kedua 2006. Survei JETRO mengindikasikan optimism pengusaha Jepang di Indonesia, baik untuk kelompok manufaktur maupun nonmanufaktur, baru membaik menjelang akhir tahun. Indeks Tendensi Bisnis BPS mengindikasikan peningkatan  permintaan barang baik dari dalam negeri maupun luar negeri mulai paro kedua 2006. Peningkatan investasi juga terhambat akibat masih terdapatnya permasalahan struktural di tingkat mikro. Hasil identifikasi Bank Indonesia menunjukkan akumulasi capital berupa sarana dan prasarana untuk kegiatan produksi. serta produktivitas tenaga kerja relatif belum membaik.  Ketersediaan infrastruktur yang belum memadai juga menjadi permasalahan di sisi kapital ini. Sementara produktivitas perekonomian seperti tercermin pada indikator total factor productivity (TFP) Indonesia belum meningkat signifikan, antara lain disebabkan pemanfaatan teknologi yang belum optimal dibandingkan Negara pesaing. Beban permasalahan untuk meningkatkan daya saing juga semakin berat seiring dengan permasalahan struktur birokrasi yang belum efisien seperti duplikasi peraturan Pemerintah di tingkat instansi, Pemerintah daerah, dan Pemerintah pusat. Selain itu, struktur pasar barang yang masih bersifat oligopolistik serta struktur pasar tenaga kerja yang kaku juga menjadi bagian permasalahan tersebut. Secara keseluruhan, berbagai permasalahan struktural ini mengakibatkan iklim berusaha belum membaik secara signifikan yang pada akhirnya turut mempengaruhi lambatnya pertumbuhan investasi. Survei International Finance Corporation mengindikasikan peningkatan daya saing Indonesia belum sekuat peningkatan di negara pesaing sebagaimana tercermin dari peringkat daya saing yang menurun dari 131 pada tahun sebelumnya menjadi 135. Hasil survei tersebut dan hasil SKDU menunjukkan faktor yang mempengaruhi daya saing, antara lain terkait dengan kinerja perekonomian, efisiensi Pemerintah, efisiensi dalam melakukan usaha dan kondisi infrastruktur. Berdasarkan kepemilikan investasi, pelambatan investasi banyak berasal dari penurunan investasi swasta. Kondisi ini antara lain tercermin pada perkembangan kesenjangan tabungan-investasi (saving-investment gap) sektor swasta yang mencatat peningkatan surplus dari 0,6% menjadi 3,7% dari PDB. Hal ini berbeda dengan kesenjangan tabungan-investasi sector Pemerintah yang mencatat peningkatan defisit menjadi 1,0% dari PDB sejalan dengan arah kebijakan fiskal yang ekspansif. Secara keseluruhan, kondisi ini mengakibatkan surplus kesenjangan tabungan-investasi perekonomian meningkat kembali dari 0,1% menjadi 2,6% dari PDB. Ekspor tetap mencatat pertumbuhan tinggi, meskipun melambat dibandingkan 2005. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa pada 2006 tetap kuat mencapai 9,2%. Kenaikan ekspor tersebut, terutama didorong ekspor barang primer pada paro pertama 2006 sebagai respons produsen domestik terhadap peningkatan harga komoditas primer di pasar dunia (Tabel 2.1). Sementara  itu, kinerja ekspor komoditas nonprimer masih belum cukup kuat sejalan dengan pelambatan pertumbuhan investasi swasta. Pertumbuhan ekspor yang tinggi terutama terjadi pada barang tambang dan pertanian. Beberapa produk tambang yang mengalami peningkatan tinggi antara lain batubara, aluminium dan nikel. Sementara itu, ekspor migas belum optimal akibat terbatasnya kenaikan produksi dan investasi di sector perminyakan, meskipun pada saat bersamaan harga minyak dunia masih berada pada level yang tinggi.. Untuk produk pertanian peningkatan tinggi tercatat pada komoditas kelapa sawit dan karet. Permintaan impor barang dan jasa bergerak sejalan dengan perkembangan permintaan domestik. Permintaan domestik yang melambat akibat penurunan daya beli masyarakat banyak mempengaruhi penurunan pertumbuhan impor barang dan jasa dari 17,1% pada 2005 menjadi 7,6%. Kuatnya pengaruh penurunan daya beli terhadap impor antara lain tercermin pada pertumbuhan impor barang konsumsi yang melambat pada 2006. Selain itu,permintaan impor barang modal tumbuh melambatsejalan dengan pelambatan pertumbuhan investasi. Dari perkembangan triwulanan, pertumbuhan impor mulai cenderung meningkat sejak 2004 2005 2006 paro kedua 2006 sejalan dengan membaiknya kondisi permintaan domestik.

SISI PENAWARAN

Peran investasi swasta yang menurun dan permintaan eksternal untuk barang-barang primer yang tetap tinggi juga tercermin pada perkembangan PDB sektoral.Pertumbuhan tinggi PDB sektoral banyak terjadi pada sektor yang berbasis  komoditas primer, khususnya pertanian, dan kelompok sektor jasa. Sementara itu, pertumbuhan sektor sekunder seperti industri pengolahan secara keseluruhan tahun, belum meningkat sejalan dengan pelambatan pertumbuhan investasi. Pertumbuhan sektor industri pengolahan terlihat mulai meningkat sejak paro kedua 2006. Dengan perkembangan ini, pangsa industri pengolahan dalam pembentukan PDB 2006 relatif menurun dibandingkan pangsa pada 2005. Pengaruh kuat penurunan daya beli dan keyakinan pelaku usaha mempengaruhi penurunan kinerja beberapa subsektor industri pengolahan. Pelambatan pertumbuhan terutama terjadi pada kelompok industry alat angkut, mesin dan peralatannya yang merupakan pangsa terbesar PDB sektor industri. Kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya pada 2006 tumbuh melambat dari 12,4% menjadi 7,5%, terutama disebabkan penurunan kebutuhan barang modal pada industri. Hal ini antara lain tercermin pada total produksi motor dan mobil yang tumbuh negatif sebesar 19,8% serta penjualan barang elektronik yang tumbuh melambat dari tahun lalu menjadi 5,3%(yoy). Penurunan penjualan barang elektronik juga dipengaruhi oleh keyakinan pelaku dunia usaha yang belum membaik. Kondisi ini antara lain tercermin dari indeks sentimen bisnis hasil Survei JETRO, termasuk di subsektor elektronik, yang masih rendah. Sejalan dengan kinerja tersebut, kelompok industri tekstil barang kulit, dan alas kaki juga masih tumbuh rendah sekitar 1,2%. Pelambatan beberapa subsector utama sektor industri pengolahan ini juga tercermin dari Survei Produksi Bank Indonesia dan Industrial Production Index BPS yang mengalami penurunan dibandingkan 2005 Sementara itu, kinerja subsektor kelompok industry makanan, minuman, dan tembakau mencatat pertumbuhan lebih baik. Kelompok industri makanan, minuman dan  tembakau tumbuh sebesar 7,2%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,7% . Peningkatan ini terkait dengan karakterisitik permintaan terhadap produk sektor industri makanan dan minuman yang tidak banyak terpengaruh oleh penurunan daya beli. Kinerja sektor sekunder, khususnya sektor industry pengolahan, yang tersendat tidak terlepas dari pengaruh permasalahan struktural di tingkat mikro. Hasil identifikasi menunjukkan indeks usia kapital di sektor industry pengolahan terlihat menurun dibandingkan sektor lainnya. Kondisi ini selanjutnya mengakibatkan penurunan efisiensi penggunaan faktor input dalam meningkatkan laju pertumbuhan output, terutama dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran pada 2006 melambat, sejalan dengan dampak penurunan daya beli masyarakat. Sektor ini mencatat pertumbuhan secara tahunan sebesar 6,1%, terutama disebabkan pelambatan pertumbuhan subsector perdagangan dari 8,9% pada 2005 menjadi sebesar 6,4% pada 2006. Kinerja subsektor perdagangan ini antara lain tercermin dari lebih rendahnya pertumbuhan arus barang domestik dan rata-rata indeks penjualan eceran pada 2006. Sementara subsector Hotel dan restoran tumbuh melambat masing-masing menjadi 2,9%(yoy) dan 5,4%(yoy) tergambar pada penurunan jumlah wisatawan dan tingkat hunian hotel  dan Sektor pertanian mencatat peningkatan pertumbuhan, sejalan dengan pengaruh kenaikan produksi padi dan permintaan ekspor. Pertumbuhan sector pertanian secara tahunan meningkat dari 2,7% menjadi 3,0%, terutama didorong subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor perkebunan (Tabel 2.10). Produksi beras pada 2006 meningkat 0,5% sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan. Pada subsektor perkebunan, peningkatan tertinggi terjadi pada komoditas kelapa sawit dan karet yang antara lain didorong peningkatan permintaan ekspor untuk kedua komoditas tersebut. Sektor pengangkutan dan komunikasi masih tumbuh cukup tinggi mencapai 13,6% atau lebih tinggi dibandingkan Pertumbuhan pada 2005 sebesar 13,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi terutama didorong subsektor komunikasi sejalan dengan jumlah pelanggan telepon seluler yang masih tumbuh tinggi di atas 30%. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan ini adalah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan inovasi di bidang komunikasi yang meningkat dan persaingan pasar yang semakin ketat. Sementara itu, pertumbuhan sektor pengangkutan relative stabil. Kondisi ini antara lain tercermin pada pertumbuhan penumpang kereta api dan angkutan udara yang tidak banyak berbeda dibandingkan tahun lalu. Sejalan dengan berkembangnya investasi bangunan, sektor bangunan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dari 7,4% menjadi 9,0%. Kinerja ini antara lain dipengaruhi dari peningkatan jumlah areal lahan industri dan apartemen yang tumbuh tinggi dibandingkan tahun sebelumnya Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan di sektor bangunan antara lain keyakinan investor di sektor bangunan terhadap prospek perbaikan ekonomi dalam jangka menengah panjang. Selain itu, beberapa proyek infrastruktur Pemerintah yang sedang dalam tahap pembangunan seperti jalan tol, air minum dan
bandara juga mempengaruhi kondisi ini, meskipun belum terlalu besar. Dari sisi pembiayaan, peningkatan kinerja sektor ini sebagian didanai oleh dana noncredit perbankan. Hal ini tercermin pada pelambatan pertumbuhan kredit yang disalurkan ke sektor bangunan melalui kredit properti dan konstruksi dari 40,5% menjadi 30,3% pada 2006.

III.             PERTUMBUHAN EKONOMI MAKRO 2007

Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2007 menunjukkan kinerja yang membaik. Hal ini tercermin dari pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi pascakrisis yang ditopang oleh stabilitas makroekonomi yang semakin kokoh dan terjaga baik. Dari sisi permintaan, akselerasi pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan prospek ekonomi. Meskipun sedikit melambat, ekspor tetap tumbuh tinggi di tengah ancaman perlambatan ekonomi dunia. Ekspansi di sisi permintaan tercermin pula pada peningkatan utilisasi kapasitas produksi di hampir semua sektor ekonomi. Beberapa sektor utama penopang pertumbuhan ekonomi seperti industri pengolahan, sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti pula dengan penyerapan angkatan kerja yang lebih tinggi, pendapatan per kapita yang meningkat dan indeks kedalaman serta keparahan kemiskinan yang menurun.

SISI AGGREGATE DEMAND

 Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006, bahkan merupakan pencapaian tingkat pertumbuhan tertinggi pascakrisis. Secara keseluruhan perekonomian berkembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber baik dari sisi global maupun domestik.
Dari sisi eksternal, dampak lonjakan harga minyak dan krisis subprime mortgage di AS dapat diminimalkan sehingga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan deficit fiskal tetap terjaga. Terciptanya stabilitas makroekonomi di dalam negeri serta perbaikan daya beli masyarakat memberikan landasan yang kokoh dan kondusif bagi penguatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007. Setelah menurun menjadi 5,5% (yoy) pada tahun 2006, pertumbuhan ekonomi meningkat signifikan pada tahun 2007 hingga mencapai 6,3%. Di sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomin yang impresif tercermin pada peningkatan pertumbuhan permintaan domestik serta relatif tingginya ekspor. Pada paruh pertama tahun 2007, daya beli masyarakat, yang menurun pada tahun 2006 pascakenaikan harga BBM tahun 2005, berangsur membaik sehingga mendorong peningkatan konsumsi swasta. Investasi yang sempat melambat sejalan dengan berkurangnya daya dorong permintaan domestik, mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan. Ekspor di awal tahun masih tumbuh tinggi didukung oleh permintaan dunia dan harga internasional yang masih menarik, terutama untuk komoditas berbasis sumber daya alam. Impor masih tumbuh tinggi sejalan dengan perbaikan permintaan domestik dan ekspor. Pada paruh kedua, pulihnya daya beli masyarakat telah mendorong konsumsi swasta tumbuh tinggi. Investasi terus tumbuh dengan tren yang meningkat terutama bersumber dari penguatan permintaan dalam negeri. Ekspor tumbuh melambat di akhir tahun seiring dengan perlambatan permintaan global. Sementara itu, impor tumbuh tinggi di akhir tahun sejalan dengan kuatnya permintaan domestik. Di sisi sektoral, seluruh sektor tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Sektor-sektor yang tumbuh signifikan adalah sektor transportasi dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sector Pangunan, sektor keuangan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sementara itu, sektor industri, perdagangan dan pengangkutan masih merupakan sector penopang utama pertumbuhan. Sementara pangsa utama sektor-sektor terhadap perekonomian tidak mengalami perubahan yaitu sektor industri pengolahan, sector pertanian, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kebijakan sektor riil diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang terkait dengan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Paket kebijakan tersebut merupakan penguatan kebijakan-kebijakan lintas sektoral yang telah ada dan penerbitan kebijakan-kebijakan baru. Paket kebijakan tersebut mencakup perbaikan iklim investasi, reformasi sistem keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan UMKM yang dibagi ke dalam: i) paket perbaikan iklim investasi; ii) reformasi sistem keuangan; iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan iv) pemberdayaan UMKM. Sampai dengan November 2007, Pemerintah telah berhasil menyelesaikan sebagian besar target yang ditetapkan dalam Inpres tersebut. Di bidang kesejahteraan, kebijakan-kebijakan dilakukan antara lain percepatan upaya penanggulangan kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), melanjutkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) guna membantu siswa tidak mampu  serta berbagai kebijakan lainnya. Kenaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 juga diiringi oleh pengurangan jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Ekspansi perekonomian pada tahun 2007 mampu mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dibanding pertambahan angkatan kerja. Konsekuensinya, tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2007 turun menjadi 10,5 juta orang dibandingkan dengan 11,1 juta orang pada tahun 2006. Penurunan angka pengangguran tersebut pada gilirannya mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dari 39,30 juta orang (17,7% dari total penduduk) pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta orang (16,6% dari total penduduk) pada tahun 2007. Perbaikan di bidang kesejahteraan ini memberikan dampak positif pada beberapa indicator yang ditargetkan di dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium tahun 2015 (Millenium Development Goals 2015) khususnya yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, penurunan tingkat kematian anak, dan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah.

SISI AGGREGATE SUPPLY
Dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding dengan tahun 2006. Perkembangan tersebut didukung oleh indikasi peningkatan utilisasi kapasitas produksi yang terjadi di hampir semua sektor. Sektor-sektor yangtumbuh tinggi pada tahun 2007 adalah sektor-sektor nontradables yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sementara itu, sektor-sektor yang merupakan penopang perekonomian seperti sektor industri pengolahan dan sektor pertanian tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006. Peningkatan permintaan domestik dan masih tingginya ekspor mendorong penguatan pertumbuhan industry pengolahan. Pada tahun 2007, industri pengolahan tumbuh sebesar 4,7% (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan dengan 4,6% (yoy) pada tahun 2006 (Tabel 2.7). Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh subsektor alat angkutan, mesin dan perlengkapannya serta subsector makanan, minuman, dan tembakau. Membaiknya pertumbuhan industri pengolahan tercermin pada pertumbuhan tahunan indeks produksi industri pengolahan Bank Indonesia dan BPS yang menunjukkan peningkatan sejak awal tahun (Grafik 2.26 dan Grafik 2.27). Namun demikian, perlu dicermati tren pertumbuhan triwulanan sektor industri pengolahan yang terus melambat hingga akhir tahun yang bersumber dari melambatnya pertumbuhan beberapa subsektor. Pertumbuhan sektor industri pengolahan didukung oleh subsektor industri alat angkut, mesin, dan peralatannya yang masih tumbuh tinggi. Pada tahun 2007, subsector industri alat angkut, mesin dan peralatannya tumbuh sebesar 9,7% dibandingkan dengan 7,6% pada tahun 2006. Peningkatan ini terutama didorong oleh membaiknya permintaan domestik yaitu konsumsi swasta dan investasi yang meningkat. Hal ini terlihat pada produksi kendaraan bermotor dan barang elektronik yang meningkat pada tahun 2007.

IV.             PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2009
Kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan perekonomian Indonesia pada sejumlah tantangan yang tidak ringan selama tahun 2009. Tantangan itu cukup mengemuka pada awal tahun 2009, sebagai akibat masih kuatnya dampak krisis perekonomian global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008. Ketidakpastian yang terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi tersebut menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun sebelumnya. Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih
dalam melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal. Berbagai kebijakan yang ditempuh pada tahun 2009 pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari serangkaian kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah pada triwulan IV 2008. Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi  juga memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan ekonomi dapat kembali membaik sejak triwulan II 2009. Keberhasilan tersebut juga tidak terlepas dari kebijakan yang secara sistematis telah ditempuh untuk memperkuat fundamental ekonomi dan keuangan pascakrisis 1997/1998. Secara umum, perekonomian Indonesia tahun 2009 telah mampu melewati tahun penuh tantangan tersebut dengan capaian yang cukup baik. Meskipun melambat  di bandingkan dengan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4,5%, tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar di tengah kontraksi perekonomian global dapat dihindari, karena struktur ekonomi yang banyak didorong oleh permintaan domestik. Setelah mengalami tekanan berat pada triwulan I 2009, stabilitas pasar keuangan dan makroekonomi juga semakin membaik sampai dengan akhir tahun 2009. Hal itu tercermin pada berbagai indicator di sektor keuangan seperti Currency Default Swap (CDS), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), imbal hasil (yield) SUN, dan nilai tukar yang membaik. Sementara itu, inflasi juga tercatat rendah 2,78%, terendah dalam satu decade terakhir. Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian Indonesia pada 2009 telah semakin menguatkan optimisme akan berlanjutnya proses perbaikan kondisi perekonomian ke depan. Optimisme tersebut juga didukung oleh semakin membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Meskipun demikian, dinamika perekonomian ke depan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat akselerasi perbaikan ekonomi. Dari sisi eksternal, tantangan terutama berkaitan dengan dampak dari strategi mengakhiri langkah kebijakan yang ditempuh di masa krisis (exit strategy), yang antara lain berupa pelonggaran likuiditas dan ekspansi fiskal di negara maju. Tantangan eksternal juga berhubungan dengan terjadinya kecenderungan polarisasi perdagangan dunia, serta masih berlangsungnya ketidakseimbangan dalam kinerja perekonomian global. Dari sisi domestik, tantangan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang masih dapat mengganggu efektivitas kebijakan moneter, seperti masih cukup besarnya ekses likuiditas perbankan, masih besarnya peranan investasi portofolio dalam struktur aliran modal masuk, masih munculnya potensi penggelembungan harga aset di pasar keuangan, masih dangkalnya pasar keuangan, dan berbagai permasalahan struktural di sektor riil. Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat, sementara stabilitas harga tetap terjaga. Prospek pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh semakin pulihnya kinerja ekspor dan mulai meningkatnya kegiatan investasi. Membaiknya ekspor sejalan dengan perbaikan prospek perekonomian global termasuk negara-negara maju. Meningkatnya permintaan eksternal dan menguatnya permintaan domestik diperkirakan mendorong dunia usaha untuk mulai meningkatkan kapasitas produksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,5% - 6,0% (yoy). Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tekanan terhadap inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ± 1% (yoy). Dalam perspektif yang lebih panjang, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap membaik karena didukung oleh berbagai upaya peningkatan kapasitas, produktivitas, dan efisiensi perekonomian secara berkesinambungan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan diprakirakan mencapai kisaran 6,5% – 7,5% (yoy) pada tahun 2014. Peningkatan kapasitas perekonomian tersebut mendukung upaya menurunkan inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah 4% + 1% (yoy). Kebijakan Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar keuangan. Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung penciptaan stabilitas sistem keuangan serta peningkatan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Selain itu, Bank Indonesia akan semakin memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik dalam
menjaga stabilitas makroekonomi maupun memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional
.
Perkembanga PDB dari sisi Agregate demand dan Agregate supply
 Pada triwulan I 2009, dampak krisis ekonomi global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008 terlihat masih sangat terasa. Risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi dipicu oleh memburuknya kinerja lembaga-lembaga keuangan terkemuka, seperti Citigroup, American International Group (AIG), dan Bank of America (BoA). Kondisi tersebut mengakibatkan investor mengurangi penempatan dananya (deleveraging) di pasar kredit dan pasar modal dan menempatkan ke aset yang berisiko rendah, khususnya surat berharga pemerintah AS (risk free assets). Di samping itu, investor juga cenderung mengurangi penempatan dananya di negara-negara emerging markets. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan keketatan likuditas di pasar uang, sementara kinerja pasar saham global terus menurun. Penempatan dana di emerging markets semakin menurun, karena diikuti oleh persepsi berlebihan atas risiko penempatan dana di Negara tersebut yang tercermin pada masih tingginya level CDS untuk negara berkembang, termasuk Indonesia. Perkembangan sektor keuangan global yang belum membaik, berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan kontraksi yang besar terjadi di negara maju. Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh di banyak negara secara berangsur mampu mengurangi risiko sistemik di pasar keuangan dan mulai menumbuhkan kembali kepercayaan pelaku pasar sejak triwulan II 2009. Injeksi likuiditas yang dilakukan oleh bank-bank sentral mampu meredakan keketatan pasar kredit sehingga menurunkan risiko di pasar keuangan ke tingkat sebelum terjadinya kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008. Sementara itu, langkah bankbank sentral untuk memperluas cakupan dan intensitas operasi moneter serta melakukan penyelamatan system keuangan juga telah mampu mengurangi ancaman risiko sistemik krisis keuangan global, termasuk ke negaranegara emerging markets. Sejalan dengan pulihnya keadaan sektor keuangan global tersebut, setahap demi setahap aktivitas perekonomian dunia juga mengalami perbaikan. Gencarnya stimulus fiskal di berbagai negara berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga yang mulai menunjukkan perbaikan. Membaiknya indikator konsumsi tersebut diikuti oleh mulai meningkatnya aktivitas industri, khususnya sektor manufaktur sejak triwulan III 2009. Perbaikan akitivitas ekonomi dunia tersebut juga ditopang negara berkembang di Asia sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging markets Asia, terutama China dan India, mampu menjadi penyeimbang relative lambannya proses pemulihan ekonomi di negara maju. Dengan tren perbaikan ini, perekonomian dunia pada
tahun 2009 mengalami proses pemulihan yang lebih cepat. Meskipun mengalami kontraksi sebesar 0,8%, capaian pertumbuhan ekonomi lebih baik dari berbagai perkiraan sebelumnya. Sejalan dengan pemulihan ekonomi global yang lebih cepat, kinerja sektor eksternal Indonesia menjadi lebih baik dari prakiraan semula. Hal itu tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang mencatat surplus 10,6 miliar dolar AS. Membaiknya kinerja neraca transaksi berjalan didukung oleh membaiknya kinerja ekspor terutama dari komoditas yang berbasis sumber daya alam (SDA), seperti komoditas sektor pertambangan. Pada akhir tahun 2009 kinerja ekspor juga didukung oleh ekspor komoditas manufaktur, sejalan dengan semakin kuatnya pemulihan ekonomi negara maju terutama di AS dan Jepang. Sementara itu, impor melambat cukup signifikan terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan permintaan domestik. Kinerja neraca transaksi modal dan finansial secara keseluruhan tahun mencatat surplus 3,7 miliar dolar AS, atau lebih tinggi dari prakiraan awal. Keberhasilan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengembalikan kepercayaan pelaku pasar berkontribusi pada mengalirnya kembali aliran modal masuk jangka pendek sejak triwulan II 2009. Perkembangan neraca transaksi berjalan serta neraca transaksi modal dan finansial tersebut secara keseluruhan mengakibatkan neraca pembayaran pada tahun 2009 mencatat surplus 12,5 miliar dolar AS, dibandingkan dengan prakiraan defisit pada awal tahun 2009. Dengan kinerja ini, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2009 mencapai 66,1 miliar dolar AS, setara dengan 6,5 bulan impor barang dan jasa serta pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Kinerja sektor keuangan Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh dinamika sistem keuangan global. Secara khusus, tekanan berat yang terjadi pada tahun 2008 masih berlanjut sampai dengan triwulan I 2009, dipicu oleh penyesuaian portofolio investasi dan meningkatnya persepsi risiko di emerging markets termasuk Indonesia. Hal itu tercermin pada masih tingginya CDS di level 1.248, jauh di atas level normal di sekitar 200, dan melebarnya yield spread antara global bond RI dan US Treasury Notes hingga sebesar 8,9%, di atas rata-rata tahun 2009 sebesar 3%. Tekanan di pasar keuangan domestik juga ditunjukkan oleh IHSG yang turun tajam ke level 1.256 (titik terendah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir), rata-rata yield SUN yang masih tinggi hingga sempat mencapai 12,7% serta nilai tukar rupiah yang melemah tajam ke level Rp12.020 per dolar AS pada bulan Maret 2009. Melemahnya nilai tukar rupiah diikuti oleh meningkatnya counterparty risk di pasar valas, seperti tercermin pada melebarnya spread jual beli nilai tukar rupiah ke level Rp100. Masih tingginya tekanan di pasar keuangan pada triwulan I 2009 juga terefleksi pada masih tingginya Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (Financial Stability Index - FSI) yang mencapai level 2,09, melebihi batas atas indikatif normal sebesar 2,0. Pengaruh ketidakpastian di pasar keuangan global juga berimbas ke pasar uang rupiah. Di pasar uang antar bank (PUAB), meningkatnya counterparty risk menyebabkan bank cenderung menahan likuiditasnya dan membatasi transaksi antar banknya sehingga terjadi keketatan likuiditas. Rata-rata volume transaksi di PUAB O/N masih tercatat sangat rendah sampai akhir Januari 2009, yaitu sekitar Rp6 triliun dibandingkan dengan rata-rata normalnya sekitar Rp13 triliun. Spread antara Jakarta Inter-Bank Offered Rate (Jibor) tenor 1 minggu sampai dengan 6 bulan terhadap O/N meningkat hingga mencapai 136 bps, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 63 bps. Dalam kondisi masih tingginya persepsi risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan tersebut, perbankan lebih banyak menempatkan dananya di instrumen moneter bank sentral seperti SBI dan FASBI, meskipun BI Rate sudah menurun cukup agresif pada triwulan I 2009. Sejalan dengan membaiknya pasar keuangan global sejak triwulan II 2009 serta langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, kepercayaan investor terhadap pasar keuangan domestic mulai pulih. Hal itu tercermin pada menurunnya persepsi risiko dan diikuti oleh derasnya aliran masuk modal asing ke Indonesia. Indeks CDS menurun tajam ke level 160 dan yield spread antara global bond RI dan US Treasury Notes menyempit ke level 1,7.  Perkembangan tersebut mendorong perbaikan kinerja pasar keuangan domestik yang tercermin pada peningkatan IHSG dan penurunan yield SUN. IHSG ditutup menguat tajam pada level 2.534 pada akhir tahun 2009 dan rata-rata yield SUN menurun hingga mencapai 10,1%. Sejalan dengan mulai menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan serta menguatnya dampak positif berbagai kebijakan pelonggaran moneter, counterparty risk di PUAB juga menurun. Penurunan risiko ini kemudian kembali meningkatkan volume transaksi dan menurunkan spread suku bunga tertinggi dan terendah. Sementara itu, ketahanan sektor perbankan semakin meningkat sejalan dengan membaiknya risiko pasar, longgarnya kondisi likuiditas di pasar uang, dan upaya konsolidasi yang dilakukan oleh perbankan. Perkembangan positif tersebut telah memperbaiki FSI ke level 1,91 pada akhir tahun 2009. Di pasar valas, membaiknya kondisi fundamental dan persepsi risiko mendukung nilai tukar rupiah kembali pada tren menguat. Sejak awal triwulan II 2009, nilai tukar rupiah terapresiasi 18,4% dan ditutup pada level Rp9.425 pada akhir Desember 2009. Penguatan rupiah ini juga dibarengi dengan peningkatan kembali volume perdagangan di pasar valas. Selain itu, spread jual beli nilai tukar rupiah juga kembali menurun ke level Rp10 sejalan dengan menurunnya counterparty risk di pasar valas tersebut. Secara keseluruhan tahun, level rupiah akhir tahun 2009 menguat 15,7% dibandingkan dengan level akhir tahun 2008. Meskipun dalam tren menguat, perkembangan rupiah masih mendukung daya saing produk ekspor Indonesia.
  
 KESIMPULAN

Pertumbuhan ekonomi yang jika di tinjau dari sisi permintaan agregat approach didominasi oleh sektor pengeluaran dan konsumsi rumah tangga namun mengalami penurunan pertumbuhan disetiap tahunnya dan mulai bangkit pada tahun 2009, dan nett ekspor mengalami peningkatan disetiap tahunnya dan merupakan salah satu sektor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi meskipun pada tahun 2009 mengalami penurunan, dan ekspor dikurangi impor barang berada pada posisi ke tiga yang mana mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai 2008 dan mengalami penurunan pada tahun 2009 kemudian bangkit lagi pada tahun 2010. Pembentukan modal berada pada posisi ke empat yang mana juga mengalami peningkatan yang dari tahun-ketahun. Belanja pemerintah berada di posisi ke lima dan tiap tahunnya juga mengalami peningkatan sedankan diskrepansi statistik berada pada posisi kedua terbawah yang perubahannya minus pada tahun 2005 dan 2009 dan posisi terakhir di duduki oleh perubahan inventory yang perubahannya menurun dari tahun ketahun.