Halaman Berbagai Ilmu
Kamis, 12 April 2012
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO IDONESIA DENGAN METODE AGGREGATE DEMAND APPROACH dan AGGREGATE SUPLY APPROACH
PENDAHULUAN
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk
bertambah setiap tahun dengan sendirinya kebutuhan konsumsi bertambah juga setiap
tahun, maka dituhkan penambahan pendapatan setiap tahu. Selain itu permintaan,
penawaran dan pertumbuhan peduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja
(sumber pendapatan), sebab jika tidak bergitu maka pertumbuahn ekonomi akan
menyababkan kemiskinan.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja hanya dapat dicapai dengan peningkatan Output barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari pertumbuahan pada sisi permintaan agregat (AD) dan sisi penawaran agregat (AS)
Agregat Dari sisi AD, pergeseran kurvanya ke kanan yang mencerminkan permintaan di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, terdiri dari permintaan masyarakat, perusahaan dan pemerintah, meningkat. disebabkan oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti Tenaga kerja (L), modal (K) dan tanah (Tn) serta Energi (E). Juga dipengaruhi oleh peningkatan produktifitas dari faktor-faktor tersebut. Untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional, maka pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan. Untuk negara-negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi ditambah kenyataan bahwa penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan juga besar, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan lajunya harus jauh lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk agar peningkatan pendapatan masyarakat perkapita dapat tercapai.
Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan jumlah pekerja yang cepat dan merata. Pertumbuhan ekonomi juga harus disertai dengan program pembangunan sosial (ADB, 2004). Dan dalam makalah ini sya akan mencoba menganalisis pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan agregate demand Approach daam 5 tahun terakhir dimulai dari tahun 2005 sampai dengan 2010
Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja hanya dapat dicapai dengan peningkatan Output barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari pertumbuahan pada sisi permintaan agregat (AD) dan sisi penawaran agregat (AS)
Agregat Dari sisi AD, pergeseran kurvanya ke kanan yang mencerminkan permintaan di dalam ekonomi bisa terjadi karena PN, terdiri dari permintaan masyarakat, perusahaan dan pemerintah, meningkat. disebabkan oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan, seperti Tenaga kerja (L), modal (K) dan tanah (Tn) serta Energi (E). Juga dipengaruhi oleh peningkatan produktifitas dari faktor-faktor tersebut. Untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional, maka pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan. Untuk negara-negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi ditambah kenyataan bahwa penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan juga besar, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan lajunya harus jauh lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk agar peningkatan pendapatan masyarakat perkapita dapat tercapai.
Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan jumlah pekerja yang cepat dan merata. Pertumbuhan ekonomi juga harus disertai dengan program pembangunan sosial (ADB, 2004). Dan dalam makalah ini sya akan mencoba menganalisis pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan agregate demand Approach daam 5 tahun terakhir dimulai dari tahun 2005 sampai dengan 2010
PEMBAHASAN
Perkembangan PDB perkapita tahun
Produk
Domestik Bruto Per Kapita, Produk Nasional Bruto Per Kapita dan Pendapatan
Nasional Per Kapita,
|
|||||
2000-2009
(Rupiah)
|
|||||
Deskripsi
|
Tahun
|
||||
2005
|
2006
|
2007
|
2008*
|
2009**
|
|
Atas Dasar Harga Berlaku
|
|
|
|||
Produk Domestik Bruto Per Kapita
|
12,675,532.4
|
15,028,519.5
|
17,509,564.7
|
21,666,747.8
|
24,261,805.2
|
Produk Nasional Bruto Per Kapita
|
12,058,722.9
|
14,388,222.3
|
16,789,465.2
|
20,897,175.6
|
23,413,726.5
|
Pendapatan Nasional Per Kapita
|
11,179,505.7
|
13,195,094.0
|
15,416,788.7
|
19,509,073.2
|
21,483,003.1
|
|
|
|
|||
Atas Dasar Harga Konstan 2000
|
|
|
|||
Produk Domestik Bruto Per Kapita
|
7,999,375.0
|
8,313,200.7
|
8,705,503.8
|
9,112,050.7
|
9,409,085.8
|
Produk Nasional Bruto Per Kapita
|
7,508,754.2
|
7,800,772.4
|
8,171,190.0
|
8,689,356.3
|
8,934,436.8
|
Pendapatan Nasional Per Kapita
|
6,950,248.1
|
7,135,668.3
|
7,485,970.1
|
8,096,309.7
|
8,183,989.1
|
Laju Pertumbuhan Indeks Implisit
Produk Domestik Bruto, 2004-2009 (Persen)
|
|||||||||||||
Jenis Pengeluaran
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008*
|
2009**
|
||||||||
Pengeluaran konsumsi rumah tangga
|
8.20
|
7.70
|
4.56
|
0.94
|
1.04
|
||||||||
Pengeluaran konsumsi pemerintah
|
4.58
|
-3.51
|
0.64
|
-3.08
|
1.13
|
||||||||
Pembentukan Modal Tetap Domestik
|
13.81
|
2.24
|
4.87
|
2.47
|
0.37
|
||||||||
Perubahan inventori
|
9.13
|
1.82
|
4.06
|
-17.38
|
40.86
|
||||||||
Ekspor barang dan jasa
|
-0.11
|
1.15
|
3.46
|
0.70
|
4.72
|
||||||||
Dikurangi impor barang dan jasa
|
1.05
|
1.33
|
1.93
|
3.00
|
-4.61
|
||||||||
PRODUK DOMESTIK BRUTO
|
8.58
|
2.25
|
3.16
|
0.82
|
1.83
|
||||||||
Laju Pertumbuhan Indeks Implisit
Produk Domestik Bruto, 2009 (Persen)
|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
JENIS PENGELUARAN
|
2009*
|
||||||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
||||||||||
|
|
|
|
||||||||||
1.
|
Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga
|
0.27
|
0.27
|
1.51
|
1.04
|
||||||||
|
a. Makanan
|
0.61
|
0.67
|
1.71
|
0.97
|
||||||||
|
b. Bukan Makanan
|
-0.02
|
-0.10
|
1.38
|
1.10
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||
2.
|
Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (a+b-c)
|
8.69
|
9.87
|
-4.21
|
-0.34
|
||||||||
|
a. Belanja Barang
|
-2.44
|
3.00
|
2.07
|
9.24
|
||||||||
|
b. Belanja Pegawai + Penyusutan (NTB)
|
3.35
|
24.14
|
-7.53
|
0.41
|
||||||||
|
c. Penerimaan Barang dan Jasa
|
8.69
|
9.87
|
-4.21
|
-0.34
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||
3.
|
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
|
11.09
|
3.58
|
0.99
|
0.76
|
||||||||
|
a. Bangunan
|
11.06
|
4.28
|
1.58
|
0.91
|
||||||||
|
b. Mesin dan Perlengkapan Dalam Negeri
|
1.84
|
1.05
|
0.20
|
0.17
|
||||||||
|
c. Mesin dan Perlengkapan Luar Negeri
|
0.23
|
-2.46
|
0.31
|
-0.08
|
||||||||
|
d. Alat Angkutan Dalam Negeri
|
2.01
|
1.17
|
0.31
|
0.34
|
||||||||
|
e. Alat Angkutan Luar Negeri
|
3.95
|
1.73
|
3.06
|
-9.76
|
||||||||
|
f. Lainnya Dalam Negeri
|
2.34
|
2.75
|
1.89
|
0.86
|
||||||||
|
g. Lainnya Luar Negeri
|
2.97
|
-1.28
|
-0.38
|
0.18
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||
4.
|
Ekspor Barang dan Jasa
|
1.18
|
-2.46
|
-2.96
|
4.73
|
||||||||
|
a. Barang
|
1.32
|
-1.60
|
-3.49
|
5.49
|
||||||||
|
b. Jasa
|
0.16
|
-9.99
|
2.08
|
-3.91
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||
5.
|
Dikurangi Impor Barang dan Jasa
|
-6.65
|
-3.25
|
4.56
|
-4.61
|
||||||||
|
a. Barang
|
-9.76
|
-2.33
|
8.42
|
-4.56
|
||||||||
|
b. Jasa
|
5.81
|
-6.13
|
-8.23
|
-5.27
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||
6.
|
PRODUK DOMESTIK BRUTO
|
0.33
|
2.61
|
1.46
|
1.83
|
||||||||
Pendapatan
Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar
Rupiah)
|
|||||
|
|||||
Lapangan Usaha
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008*
|
2009**
|
1. Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
|
253,881.7
|
262,402.8
|
271,509.3
|
284,620.7
|
296,369.3
|
a.
Tanaman Bahan Makanan
|
125,801.8
|
129,548.6
|
133,888.5
|
142,000.4
|
148,691.6
|
b.
Tanaman Perkebunan
|
39,810.9
|
41,318.0
|
43,199.2
|
44,785.5
|
45,887.1
|
c.
Peternakan
|
32,346.5
|
33,430.2
|
34,220.7
|
35,425.3
|
36,743.6
|
d.
Kehutanan
|
17,176.9
|
16,686.9
|
16,548.1
|
16,543.3
|
16,793.8
|
e.
Perikanan
|
38,745.6
|
41,419.1
|
43,652.8
|
45,866.2
|
48,253.2
|
|
|
|
|
|
|
2. Pertambangan dan Penggalian
|
165,222.6
|
168,031.7
|
171,278.4
|
172,442.7
|
179,974.9
|
a.
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
|
96,894.6
|
95,853.1
|
94,746.6
|
95,170.3
|
95,239.2
|
b.
Pertambangan Bukan Migas
|
52,694.2
|
55,242.4
|
58,151.3
|
57,511.0
|
63,583.5
|
c.
Penggalian
|
15,633.8
|
16,936.2
|
18,380.5
|
19,761.4
|
21,152.2
|
|
|
|
|
|
|
3. Industri Pengolahan
|
491,561.4
|
514,100.3
|
538,084.6
|
557,764.4
|
569,550.8
|
a.Industri Migas
|
48,658.8
|
47,851.2
|
47,823.0
|
47,662.7
|
46,611.2
|
1).
Pengilangan Minyak Bumi
|
21,207.2
|
20,806.9
|
20,780.6
|
20,972.0
|
21,073.7
|
2).
Gas Alam Cair (LNG)
|
27,451.6
|
27,044.3
|
27,042.4
|
26,690.7
|
25,537.5
|
b. Industri Bukan Migas
|
442,902.6
|
466,249.1
|
490,261.6
|
510,101.7
|
522,939.6
|
1).
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
|
121,395.6
|
130,148.9
|
136,722.4
|
139,921.9
|
155,720.0
|
2).
Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
|
54,277.1
|
54,944.2
|
52,922.5
|
50,994.0
|
51,265.4
|
3).
Industri Kayu dan Produk Lainnya
|
20,138.5
|
20,006.2
|
19,657.6
|
20,335.8
|
20,039.2
|
4).
Industri Produk Kertas dan Percetakan
|
23,944.2
|
24,444.8
|
25,861.0
|
25,477.2
|
27,074.2
|
5).
Industri Produk Ppuk, Kimia dan Karet
|
59,293.1
|
61,947.9
|
65,470.0
|
68,389.6
|
69,421.7
|
6).
Industri Produk Semen dan Penggalian Bukan Logam
|
15,618.1
|
15,700.1
|
16,233.3
|
15,990.7
|
15,889.4
|
7).
Industri Logam Dasar Besi dan Baja
|
7,712.0
|
8,076.8
|
8,213.3
|
8,044.7
|
7,680.6
|
8).
Industri Peralatan, Mesin dan PerlengkapanTransportasi
|
136,744.6
|
147,063.8
|
161,375.6
|
177,178.3
|
171,961.6
|
9).
Produk Industri Pengolahan Lainnya
|
3,779.4
|
3,916.4
|
3,805.9
|
3,769.5
|
3,887.5
|
|
|
|
|
|
|
4. Listrik, Gas & Air Bersih
|
11,584.1
|
12,251.0
|
13,517.0
|
14,993.6
|
17,059.8
|
a.
Listrik
|
7,967.6
|
8,474.7
|
9,122.5
|
9,729.3
|
10,406.1
|
b.
Gas
|
1,745.8
|
1,838.9
|
2,393.5
|
3,188.4
|
4,496.6
|
c.
Air Bersih
|
1,870.7
|
1,937.4
|
2,001.0
|
2,075.9
|
2,157.1
|
|
|
|
|
|
|
5. Konstruksi
|
103,598.4
|
112,233.6
|
121,808.9
|
130,951.6
|
140,184.2
|
|
|
|
|
|
|
6. Perdagangan, Hotel &
Restoran
|
293,654.0
|
312,518.7
|
340,437.1
|
363,813.5
|
367,958.8
|
a.
Perdagangan Besar dan Eceran
|
241,887.1
|
257,845.0
|
282,115.8
|
301,936.6
|
301,983.5
|
b.
Hotel
|
12,313.2
|
12,950.5
|
13,645.6
|
14,261.5
|
14,774.9
|
c.
Restoran
|
39,453.7
|
41,723.2
|
44,675.7
|
47,615.4
|
51,200.4
|
|
|
|
|
|
|
7. Pengangkutan dan Komunikasi
|
109,261.5
|
124,808.9
|
142,326.7
|
165,905.5
|
191,674.0
|
a. Pengangkutan
|
66,404.7
|
70,796.0
|
72,791.1
|
74,786.9
|
78,872.9
|
1).
Angkutan Rel
|
585.3
|
623.0
|
631.0
|
721.3
|
672.0
|
2).
Angkutan Jalan Raya
|
28,367.1
|
29,764.2
|
30,868.2
|
32,391.4
|
34,226.5
|
3).
Angkutan Laut
|
8,855.8
|
9,497.4
|
9,278.7
|
8,809.7
|
8,589.7
|
4).
Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
|
2,342.7
|
2,431.9
|
2,512.5
|
2,631.8
|
2,763.9
|
5).
Angkutan Udara
|
10,362.3
|
11,466.2
|
12,385.3
|
13,044.4
|
14,564.3
|
6).
Jasa Penunjang Angkutan
|
15,891.5
|
17,013.3
|
17,115.4
|
17,188.3
|
18,056.5
|
b. Komunikasi
|
42,856.8
|
54,012.9
|
69,535.6
|
91,118.6
|
112,801.1
|
|
|
|
|
|
|
8. Keuangan, Real Estate &
Jasa Perusahaan
|
161,252.2
|
170,074.3
|
183,659.3
|
198,799.6
|
208,832.2
|
a.
Bank
|
71,366.9
|
72,474.4
|
78,241.0
|
84,039.5
|
86,057.5
|
b.
Lembaga Keuangan Tanpa Bank
|
13,074.9
|
14,009.2
|
15,149.8
|
16,518.1
|
17,775.1
|
c.
Jasa Penunjang Keuangan
|
1,128.3
|
1,213.5
|
1,331.0
|
1,376.3
|
1,472.7
|
d.
Real Estat
|
47,714.6
|
51,755.3
|
55,819.1
|
60,775.4
|
63,957.6
|
e.
Jasa Perusahaan
|
27,967.5
|
30,621.9
|
33,118.4
|
36,090.3
|
39,569.3
|
|
|
|
|
|
|
9. Jasa-jasa
|
160,799.3
|
170,705.4
|
181,706.0
|
193,024.3
|
205,371.5
|
a. Pemerintahan Umum
|
73,700.1
|
76,618.4
|
80,778.2
|
84,377.9
|
88,683.2
|
1).
Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan
|
46,889.6
|
48,644.3
|
51,148.9
|
53,230.7
|
55,845.8
|
2).
Jasa Pemerintahan Lainnya
|
26,810.5
|
27,974.1
|
29,629.3
|
31,147.2
|
32,837.4
|
b. Swasta
|
87,099.2
|
94,087.0
|
100,927.8
|
108,646.4
|
116,688.3
|
1).
Jasa Sosial Kemasyarakatan
|
22,604.5
|
24,178.0
|
25,777.4
|
27,601.1
|
29,621.5
|
2).
Jasa Hiburan dan Rekreasi
|
6,713.1
|
7,246.7
|
7,751.8
|
8,378.4
|
9,065.1
|
3).
Jasa Perorangan dan Rumah tangga
|
57,781.6
|
62,662.3
|
67,398.6
|
72,666.9
|
78,001.7
|
|
|
|
|
|
|
Produk
Domestik Bruto
|
1,750,815.2
|
1,847,126.7
|
1,964,327.3
|
2,082,315.9
|
2,176,975.5
|
Produk
Domestik Bruto Tanpa Migas
|
1,605,261.8
|
1,703,422.4
|
1,821,757.7
|
1,939,482.9
|
2,035,125.1
|
Laju Pertumbuhan Produk Domestik
BrutoAtas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen)
|
|||||
|
|||||
Lapangan Usaha
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007*
|
2008**
|
-(1)
|
-(2)
|
-(3)
|
-(4)
|
-(5)
|
-(6)
|
1. Agriculture, Livestock,
Forestry and Fishery
|
2.82
|
2.72
|
3.36
|
3.43
|
4.77
|
a.
Tanaman Bahan Makanan
|
2.89
|
2.60
|
2.98
|
3.35
|
5.91
|
b.
Tanaman Perkebunan
|
0.40
|
2.48
|
3.79
|
4.40
|
3.84
|
c.
Peternakan
|
3.35
|
2.13
|
3.35
|
2.36
|
3.89
|
d.
Kehutanan
|
1.28
|
-1.47
|
-2.85
|
-1.10
|
-0.39
|
e.
Perikanan
|
5.56
|
5.87
|
6.90
|
5.39
|
4.81
|
|
|
|
|
|
|
2. Pertambangan dan Penggalian
|
-4.48
|
3.20
|
1.70
|
2.02
|
0.51
|
a.
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
|
-4.32
|
-1.77
|
-1.07
|
-1.14
|
0.46
|
b.
Pertambangan Bukan Migas
|
-7.96
|
12.24
|
4.84
|
5.48
|
-1.53
|
c.
Penggalian
|
7.46
|
7.69
|
8.33
|
8.60
|
7.27
|
|
|
|
|
|
|
3. Industri Pengolahan
|
6.38
|
4.60
|
4.59
|
4.67
|
3.66
|
a. Industri Migas
|
-1.95
|
-5.67
|
-1.66
|
-0.06
|
-0.33
|
1).
Pengilangan Minyak Bumi
|
-0.23
|
-5.00
|
-1.89
|
-0.13
|
0.93
|
2).
Gas Alam Cair (LNG)
|
-3.22
|
-6.19
|
-1.48
|
-0.01
|
-1.30
|
b. Industri Bukan Migas
|
7.51
|
5.86
|
5.27
|
5.15
|
4.05
|
1).
Industri Makanan, Minuman dan Tembakau
|
1.39
|
2.75
|
7.21
|
5.05
|
2.34
|
2).
Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
|
4.06
|
1.31
|
1.23
|
-3.68
|
-3.64
|
3).
Industri Kayu dan Produk Lainnya
|
-2.07
|
-0.92
|
-0.66
|
-1.74
|
3.45
|
4).
Industri Produk Kertas dan Percetakan
|
7.61
|
2.39
|
2.09
|
5.79
|
-1.48
|
5).
Industri Produk Ppuk, Kimia dan Karet
|
9.01
|
8.77
|
4.48
|
5.69
|
4.46
|
6).
Industri Produk Semen dan Penggalian Bukan Logam
|
9.53
|
3.81
|
0.53
|
3.40
|
-1.49
|
7).
Industri Logam Dasar Besi dan Baja
|
-2.61
|
-3.70
|
4.73
|
1.69
|
-2.05
|
8).
Industri Peralatan, Mesin dan PerlengkapanTransportasi
|
17.67
|
12.38
|
7.55
|
9.73
|
9.79
|
9).
Produk Industri Pengolahan Lainnya
|
12.77
|
2.61
|
3.62
|
-2.82
|
-0.96
|
|
|
|
|
|
|
4. LIstrik, Gas dan Air Bersih
|
5.30
|
6.30
|
5.76
|
10.33
|
10.92
|
a.
Listrik
|
5.13
|
6.68
|
6.36
|
7.64
|
6.65
|
b.
Gas
|
9.40
|
6.48
|
5.33
|
30.16
|
33.21
|
c.
Air Bersih
|
2.47
|
4.53
|
3.57
|
3.29
|
3.74
|
|
|
|
|
|
|
5. Konstruksi
|
7.49
|
7.54
|
8.34
|
8.61
|
7.31
|
|
|
|
|
|
|
6. Perdagangan, Hotel &
Restoran
|
5.70
|
8.30
|
6.42
|
8.41
|
7.23
|
a.
Perdagangan Besar dan Eceran
|
5.52
|
8.82
|
6.60
|
8.78
|
7.49
|
b.
Hotel
|
7.93
|
6.23
|
5.18
|
5.37
|
4.07
|
c.
Restoran
|
6.08
|
5.88
|
5.75
|
7.08
|
6.58
|
|
|
|
|
|
|
7. Pengangkutan dan Komunikasi
|
13.38
|
12.76
|
14.23
|
14.04
|
16.69
|
a. Pengangkutan
|
8.76
|
6.25
|
6.61
|
2.82
|
2.71
|
1).
Angkutan Rel
|
-0.92
|
-2.98
|
6.44
|
1.28
|
14.31
|
2).
Angkutan Jalan Raya
|
4.99
|
4.84
|
4.93
|
3.71
|
4.93
|
3).
Angkutan Laut
|
3.63
|
8.75
|
7.24
|
-2.30
|
-5.05
|
4).
Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
|
4.11
|
3.94
|
3.81
|
3.33
|
3.94
|
5).
Angkutan Udara
|
30.07
|
10.42
|
10.65
|
8.02
|
5.32
|
6).
Jasa Penunjang Angkutan
|
8.73
|
5.56
|
7.06
|
0.60
|
0.41
|
b. Komunikasi
|
22.88
|
24.58
|
26.03
|
28.74
|
31.32
|
|
|
|
|
|
|
8. Keuangan, Real Estat dan Jasa
Perusahaan
|
7.66
|
6.70
|
5.47
|
7.99
|
8.24
|
a.
Bank
|
6.02
|
4.50
|
1.55
|
7.96
|
7.41
|
b.
Lembaga Keuangan Tanpa Bank
|
9.24
|
8.35
|
7.15
|
8.14
|
9.03
|
c.
Jasa Penunjang Keuangan
|
9.18
|
6.66
|
7.55
|
9.68
|
3.40
|
d.
Real Estat
|
8.89
|
8.17
|
8.47
|
7.85
|
8.88
|
e.
Jasa Perusahaan
|
9.23
|
9.28
|
9.49
|
8.15
|
8.97
|
|
|
|
|
|
|
9. Jasa-jasa
|
5.38
|
5.16
|
6.16
|
6.60
|
6.45
|
a. Pemerintahan Umum
|
1.65
|
1.90
|
3.96
|
5.43
|
4.46
|
1).
Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan
|
1.46
|
1.81
|
3.74
|
5.15
|
4.07
|
2).
Jasa Pemerintahan Lainnya
|
2.00
|
2.06
|
4.34
|
5.92
|
5.12
|
b. Swasta
|
8.96
|
8.09
|
8.02
|
7.55
|
8.03
|
1).
Jasa Sosial dan Kemasyarakatan
|
7.78
|
7.22
|
6.96
|
7.63
|
8.41
|
2).
Jasa Hiburan dan Rekreasi
|
8.34
|
6.52
|
7.95
|
7.26
|
8.70
|
3).
Jasa Perorangan dan Rumahtangga
|
9.51
|
8.62
|
8.45
|
7.56
|
7.81
|
|
|
|
|
|
|
Produk
Domestik Bruto
|
5.03
|
5.69
|
5.50
|
6.28
|
6.06
|
Produk
Domestik Bruto Tanpa Migas
|
5.97
|
6.57
|
6.11
|
6.87
|
6.52
|
I.
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2005
Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 tumbuh
sebesar 5,6%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2004 sebesar 5,1%. Dari sisi
permintaan, kegiatan ekonomi didukung oleh peningkatan pertumbuhan permintaan
domestik yang dibarengi dengan penurunan impor yang tajam. Dari sisi sektoral,
pertumbuhan disumbang oleh sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan.
Meskipun secara keseluruhan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi
pertumbuhan
tersebut masih di bawah perkiraan semula dan
cenderung melambat setelah triwulan II-2005 seiring dengan meningkatnya tekanan
terhadap kestabilan makroekonomi. Tingginya harga minyak dunia dan berlanjutnya
siklus pengetatan moneter global menimbulkan tekanan yang kuat terhadap kondisi
fiskal dan neraca pembayaran akibat pola ekspansi perekonomian yang relatif
masih rentan. Seiring dengan kondisi tersebut, tambahan angkatan kerja baru
tidak sepenuhnya mampu terserap sehingga tingkat pengangguran meningkat dan
distribusi pendapatan semakin timpang.
PERMINTAAN AGREGAT
Pada tahun 2005 ekonomi Indonesia tumbuh
lebih tinggi dibanding tahun 2004.Kinerja perekonomian dari sisi permintaan
mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada paro pertama 2005, namun seiring
dengan meningkatnya tekanan eksternal pada paro kedua pertumbuhan ekonomi mulai
mengalami perlambatan. Permintaan domestik masih memberikan sumbangan terhadap
pertumbuhan secara cukup signifikan, sementara sumbangan ekspor cenderung
menurun. Pada saat yang bersamaan impor mengalami penurunan
pertumbuhan yang tajam.Konsumsi total pada tahun 2005 tumbuh lebihrendah
dibanding tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi total terutama
disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta, sementara konsumsi
pemerintah tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan konsumsi swasta yang melambat pada
tahun 2005 terjadi pada konsumsi bukan makanan. Sementara itu, konsumsi
pemerintah yang meningkat pada tahun 2005 terutama terjadi pada belanja
lainnya, dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), serta belanja
pegawai. Konsumsi swasta tumbuh 3,95% pada tahun laporan, lebih rendah
dibanding tahun 2004 sebesar 4,97%. Melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta ini
terkait dengan pendapatan riil masyarakat yang menurun. Di samping itu
penurunan pertumbuhan konsumsi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat
terhadap kondisi perekonomian yang memburuk seiring dengan kenaikan harga BBM
pada bulan Maret dan Oktober 2005 serta depresiasi nilai tukar rupiah dan
kenaikan suku bunga kredit konsumsi. Sementara itu, stimulus fiskal yang
diharapkan dapat mengimbangi turunnya daya beli rumah tangga tumbuh relatif
terbatas. Ekspansi fiskal terutama baru dilakukan pada triwulan III dan IV
2005, antara lain berupa penyaluran subsidi langsung tunai (SLT) dan beras
miskin. Perlambatan pertumbuhan konsumsi terutama terjadi pada konsumsi bukan
makanan yang bersifat elastic terhadap perubahan pendapatan. Konsumsi bukan
makanan tumbuh sebesar 5,42%, lebih rendah disbanding tahun 2004 sebesar 8,27%,
seperti tercermin pada turunnya pembelian kendaraan penumpang dan sepeda motor,
barang elektronik, dan pakaian. Pembelian kendaraan penumpang pada tahun 2005
tumbuh sebesar 15,3%, turun jauh dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat
sebesar 46,8%. Pada periode waktu yang sama, pembelian sepeda motor yang semula
tumbuh sebesar 40,1% juga turun menjadi sebesar
30,8%.Pembelian barang elektronik berupa televisi dan mesin cuci bahkan
terkontraksi yaitu Masing-masing tumbuh sebesar -11,46% dan -10,47%.
Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta juga dipengaruhi oleh penurunan tingkat
keyakinan konsumen. Hasil Survei konsumen BI dan Survei Tendensi Konsumen (ITK)
BPS menunjukkan tingkat keyakinan konsumen masih pesimis. Indeks keyakinan
rata-rata survei konsumen tahun 2005 sebesar 93,7, turun dibandingkan tahun
2004 sebesar 97,9. Penurunan keyakinan konsumen dipengaruhi oleh turunnya
keyakinan konsumen atas kemampuan daya beli dan pendapatannya. Sementara itu,
ITK rata-rata pada periode waktu yang sama turun lebih besar, yaitu dari 113,6
pada tahun 2004 menjadi 96,0. Indeks penjualan eceran Survei Penjualan Eceran
BI juga menunjukkan trend menurun, terutama memasuki triwulan IV 2005. Dari
sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan
konsumsi
tercermin dari menurunnya pertumbuhan kredit konsumsi dan pembiayaan nonbank.
Kredit konsumsi maupun pembiayaan nonbank tumbuh melambat seiring dengan
meningkatnya suku bunga akibat pengetatan kondisi moneter. Realisasi kredit
konsumsi pada tahun 2005 meningkat sebesar 36,8%, turun dibanding tahun
sebelumnya sebesar 38,1%. Pembiayaan konsumen juga tumbuh melambat dari 44,9%
menjadi 21,6% pada tahun 2005 (Grafik 2.6). Sementara itu, konsumsi pemerintah
pada tahun 2005 tumbuh lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
yaitu dari 3,99% menjadi 8,06%. Secara keseluruhan, ekspansi pengeluaran
pemerintah didominasi oleh pengeluaran konsumsi dan transfer. Ekspansi konsumsi
pemerintah terutama baru terlihat pada semester II tahun 2005 karena adanya
kendala teknis administratif yang terkait dengan implementasi sistem anggaran
yang baru. Kenaikan konsumsi pemerintah pada tahun 2005 terutama bersumber dari
kenaikan belanja lainnya, belanja untuk DAU dan DBH serta kenaikan belanja
pegawai khususnya terkait dengan pembayaran gaji ke 13.
Investasi
pada tahun 2005 tumbuh sebesar 9,93%, turun dari tahun sebelumnya sebesar
14,68%.
Perlambatan
tersebut terutama terjadi pada pertumbuhan investasi non bangunan yang terus
menurun sejak awal tahun 2005 dengan akselerasi penurunan yang meningkat pada
triwulan III dan IV, sementara pertumbuhan investasi bangunan relatif konstan
pada level yang relatif rendah
(Grafik
2.8.) Perlambatan pertumbuhan pada komponen investasi non bangunan tercermin
pada perlambatan pengadaan mesin dan perlengkapannya, dan perlambatan
pertumbuhan pengadaan truk dan alat berat. Pertumbuhan penjualan truk menurun
dari 33.0% pada tahun 2004 menjadi -0,9% pada tahun 2005. Secara fundamental
perlambatan pertumbuhan investasi dipengaruhi oleh tekanan yang berasal dari ekternal
maupun internal. Kenaikan harga minyak dan berlanjutnya siklus pengetatan
moneter dunia berdampak pada kenaikan biaya produksi dan investasi. Iklim
investasi yang belum kondusif, antara lain belum tuntasnya beberapa produk
hukum dan minimnya infrastruktur turut menyumbang terhadap perlambatan
pertumbuhan investasi (Boks: Tantangan Mendorong Peningkatan Investasi).
Persepsi pelaku usaha terhadap kecenderungan melemahnya konsumsi juga
berpengaruh pada perlambatan kegiatan investasi sektor swasta. Selain itu,
pengeluaran pemerintah yang diharapkan dapat menjadi salah satu stimulus
pertumbuhan investasi terkendala oleh pelaksanaan format baru APBN dan
keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran. Sementara itu, pertumbuhan
investasi bangunan yang pada tahun 2005 diharapkan dapat tumbuh tinggi ternyata
tumbuh sedikit melambat. Investasi bangunan tumbuh sebesar 7,49% pada tahun
2004, turun menjadi sebesar 6,17% pada tahun 2005. Rendahnya realisasi investasi
bangunan tersebut selain disebabkan oleh memburuknya iklim usaha, juga
dipengaruhi oleh meningkatnya ongkos produksi dan rendahnya realisasi proyek
infrastruktur. Berkaitan dengan proyek infrastruktur, dari 91 proyek
infrastruktur yang ditawarkan oleh pemerintah senilai US$22,5 miliar, hanya 5
proyek yang telah memasuki tahap konstruksi. Sementara itu, sebanyak 28 proyek
masih dalam tahap persiapan tender dan 15 proyek sudah ditetapkan
pelaksanaannya. Beberapa hal yang mempengaruhi rendahnya realisasi proyek infrastruktur
antara lain adalah kurangnya payung hukum, beberapa di antaranya baru selesai
pada akhir tahun 2005. Perlambatan pertumbuhan investasi bangunan dikonfirmasi
oleh perlambatan pertumbuhan penjualan semen dari 9,1% menjadi 4,7%. Disamping
kenaikan biaya produksi dan meningkatnya sukubunga kredit, perlambatan pertumbuhan
investasi tidak terlepas dari memburuknya persepsi pelaku bisnis yang tercermin
dari hasil berbagai survei. Survei Tendensi Bisnis BPS dan Survei Bisnis Sentimen
JETRO menunjukkan Indeks Tendesi Bisnis (ITB) BPS dan diffusion index JETRO
turun dibandingkan dengan indeks pada tahun 2004 (Grafik 2.11 dan 2.12). Hasil
survei JETRO menunjukkan bahwa kelompok industry I (oil, chemical, stell, and
metal), kelompok Industri III (transportation and machinery) dan kelompok industry
IV (other manufacturing bisnis) mencatat penurunan sentimen yang cukup tinggi.
Sementara itu, pada kelompok industri II (electronic) sentimen pelaku bisnis membaik.
Dari sisi pembiayaan, perlambatan pertumbuhan investasi tercermin pada
perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi baik yang berasal dari perbankan maupun
nonbank. Pada tahun 2005, kredit
investasi yang berasal dari perbankan tumbuh 13,2%, melambat dibandingkan tahun
2004 yang tumbuh 25,6%. Di tengah perlambatan pertumbuhan pembiayaan investasi,
patut dicermati bahwa pangsa pembiayaan investasi UMKM mengalami peningkatan.
Sementara itu pembiayaan investasi yang berasal dari penjualan obligasi korporasi
hanya terealisasi sebesar Rp8,3 triliun, lebih rendah dari tahun 2004 dengan
realisasi penjualan obligasi sebesar Rp19,2 triliun. Dari hasil penjualan
obligasi korporasi tersebut hanya sebagian kecil yang digunakan untuk membiayai
investasi, sebagian besar digunakan untuk membiayai modal kerja. Sementara itu,
sumber pembiayaan investasi lainnya, yaitu dari foreign direct investment
diperkirakan tumbuh tidak terlalu tinggi. Namun demikian, melambatnya
pertumbuhan kredit investasi perbankan dan sumber pembiayaan pasar modal tidak
terefleksi pada kondisi kesenjangan tabunganinvestasi (saving-investment gap).
Nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB menurun
dari
1,2% menjadi 0,8%. Penurunan surplus kesenjangan tabungan-investasi ini berasal
dari penurunan surplus kesenjangan tabungan √ investasi pada sektor swasta, sementara
sektor pemerintah mengalami penurunan defisit. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa potensi pembiayaan investasi dari swasta masih belum sepenuhnya digunakan
(Tabel 2.4) (Boks:Pembiayaan Pertumbuhan Ekonomi 2005). Dengan melambatnya
pertumbuhan investasi, kapasitas perekonomian diperkirakan relatif belum mengalami
peningkatan yang signifikan. Sementara itu, kondisi pertumbuhan stok kapital
juga masih relatif lambat, yaitu berkisar 0-0,5% (periode setelah krisis), sehingga membatasi
upaya peningkatan produksi. Dengan kondisi tersebut, kemampuan sisi penawaran
dalam merespon perkembangan sisi permintaan menjadi terbatas. Sejalan dengan
itu, kesenjangan output (output gap) dalam perekonomian nasional menunjukkan
arah yang semakin menyempit, meskipun masih negatif1. Kecenderungan output gap
yang menyempit ini didukung oleh angka pertumbuhan stok kapital yang lebih
lambat, sementara rasio investasi terhadap PDB hanya sedikit meningkat. Meskipun
ekspansi ekonomi masih bergerak di bawah tingkat kapasitas potensialnya,
efisensi penggunaan kapital cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan teknologi
dan perbaikan kualitas SDM. Angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR)2
mengalami penurunan (perbaikan). ICOR pada tahun 2005 tercatat sebesar 4.2, lebih
rendah dari angka pada tahun 2004 sebesar 4.5. Penurunan ICOR tersebut
mencerminkan perbaikan efisiensi perekonomian antara lain terkait dengan
meningkatnya penanaman modal di sektor-sektor yang padat teknologi dan
membutuhkan tenaga terampil. Untuk PMA berdasarkan realisasi Izin Usaha Tetap
(IUT) yang dikeluarkan BKPM, sektor yang diminati investor antara lain sektor
transportasi, gudang & komunikasi; Industri kimia dan farmasi; industri
logam, mesin dan elektronik; dan konstruksi. Sementara itu untuk PMDN, sektor
yang diminati antara lain sektor konstruksi; industry makanan; industri mineral
nonlogam; industri logam, mesin dan elektronik. Peningkatan tenaga kerja
terampil Sumber : BPS, diolah antara lain tercermin dari meningkatnya jumah
tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas. Sementara itu,
peningkatan produktivitas tenaga kerja yang tinggi juga terjadi pada
sektor-sektor yang padat modal dan teknologi. Di sisi eksternal, ekspor barang
dan jasa pada tahun 2005 tumbuh 8,6%, turun dibanding tahun 2004 sebesar
13,50%. Perlambatan tersebut terkait dengan kondisi pertumbuhan ekonomi global
yang melambat dan permasalahan lemahnya daya saing. Pada komoditi nonmigas,
perlambatan pertumbuhan terjadi pada kelompok barang mineral dan kelompok
barang pertanian. Penurunan pada kelompok barang mineral antara lain terjadi
pada komoditi nikel dan batubara, yang terutama disebabkan oleh menurunnya
permintaan dunia terhadap kedua komoditi tersebut, dan khusus untuk batu bara
juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dalam negeri . Pada kelompok
barang pertanian, penurunan volume ekspor antara lain terjadi pada produk perkayuan.
Volume ekspor pada kelompok barang manufaktur meningkat antara lain dipengaruhi
oleh depresiasi rupiah dan masih cukup tingginya permintaan pada beberapa
komoditi seperti produk-produk karet, minyak kelapa sawit, dan produk elektronik.
Sementara itu, pada komoditi migas, volume ekspor minyak mengalami penurunan, seiring
dengan rendahnya ekplorasi ladang minyak yang baru dan berkurangnya
produktifitas sumur-sumur yang sudah ada. Selain kecenderungan melemahnya
permintaan dan daya saing, melambatnya pertumbuhan ekspor juga terkait dengan
pelaksanaan ekspor yang kurang efisien. Survei World Bank menunjukkan bahwa
aktifitas ekspor Indonesia masih kurang kompetitif dibandingkan dengan
negaranegara kompetitor utama. Kelemahan tersebut antara lain berupa tingginya
jumlah waktu untuk ekspor barang (25 hari), banyaknya dokumen ekspor yang harus
dipenuhi (7 dokumen). Pada saat ini upaya-upaya pembenahan secara bertahap
sudah mulai dilaksanakan, diantaranya pengurangan jumlah jembatan timbang dan
perbaikan infrastruktur yang dapat
mendukung kelancaran pengiriman barang. Pada tahun 2005, pertumbuhan impor
barang dan jasa melambat cukup signifikan dari 27,07% pada tahun 2004 menjadi
12,35%. Perlambatan pertumbuhan impor tersebut dipengaruhi oleh permintaan
domestik, khususnya investasi yang juga tumbuh melambat. Dilihat dari kelompok
barang, perlambatan pertumbuhan terutama terjadi pada impor bahan baku dan
bahan setengah jadi, serta impor barang modal untuk peralatan transport
industri. Komoditas impor barang modal dan barang setengah jadi yang tumbuh
melambat antara lain adalah bahan mentah yang sudah diproses untuk industri;
suku cadang dan asesori untuk barang modal; suku cadang dan asesori untuk
perlengkapan transpor; dan makanan dan minuman primer untuk industri. Secara
sektoral perlambatan tersebut terkait erat dengan perlambatan pertumbuhan
beberapa sub sector industri pengolahan yang memiliki kandungan impor cukup
tinggi, seperti industri mesin dan peralatan; industry alat angkutan, mesin dan
peralatannya; industri tekstil, kulit dan dan alas kaki; dan industri kertas
dan barang cetakan.
PENAWARAN AGREGAT
Di sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi
mencatat pertumbuhan positif. Sumbangan terbesar yang menopang pertumbuhan
tersebut berasal dari sector perdagangan, sektor industri pengolahan dan sector
pengangkutan dan komunikasi. Meskipun demikian, perlu dicermati bahwa
pertumbuhan pada sektor industry pengolahan dan pertanian √ sebagai sektor yang
banyak menyerap tenaga kerja, menjadi sumber penerimaan devisa dan penerimaan
pajak, serta memiliki kaitan backward dan forward linkage yang tinggi√
mengalami perlambatan. Sektor Industri Pengolahan tumbuh 4,63%, lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya 6,2%. Perlambatan pertumbuhan di sektor industri
pengolahan terjadi pada hampir semua subsektor, kecuali pada subsektor industri
makanan, minuman, dan tembakau. Perlambatan tersebut dipicu oleh
kenaikan harga BBM, depresiasi nilai tukar, terbatasnya pembiayaan usaha, iklim
usaha, dan penurunan pendapatan riil masyarakat. Kondisi yang kurang
menguntungkan tersebut mendorong dunia usaha untuk melakukan berbagai penyesuaian
diantaranya menurunkan volume produksi dan marjin keuntungan, serta
meningkatkan efisiensi usaha. Perlambatan pertumbuhan sektor industry pengolahan
tercermin pada hasil survei produksi yang menunjukkan penurunan indeks produksi
sejak pertengahan 2005. Kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatannya
pada tahun 2005 tumbuh 12,4%, melambat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 17,7%
Perlambatan pertumbuhan pada kelompok industri ini terutama didorong oleh
depresiasi rupiah terkait dengan besarnya kandungan impor dan penurunan daya
beli masyarakat. Produksi mobil dan motor mengalami perlambatan pertumbuhan
yang akselerasinya meningkat pada triwulan IV 2005 terutama disebabkan oleh
kenaikan suku bunga nominal kredit.Sementara itu, untuk industri elektronika,
kendala yang dihadapi juga terkait dengan maraknya penyelundupan dan pengenaan
bea masuk komponen produk rata-rata sebesar 20% yang menyebabkan kurang
kompetitifnya produk domestic dibandingkan produk impor asal negara ASEAN yang
hanya dikenakan tarif bea masuk sebesar 0-5%. Kelompok industri tekstil, barang
dari kulit dan alas kaki pada tahun 2005 tumbuh sebesar 1,28%, lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 4,06%. Faktor utama yang
mempengaruhi perlambatan pertumbuhan subkelompok industri tekstil dan alas kaki
selain permasalahan umum yang dihadapi industry pengolahan di atas adalah
maraknya produk sejenis berharga murah dari Cina di pasar domestik. Namun
demikian, kinerja perusahaan tekstil dan alas kaki yang berorientasi ekspor
masih didukung oleh kondusifnya pasar ekspor. Sementara itu beberapa kelompok
industri yang mencatat peningkatan pertumbuhan pada tahun 2005 adalah industri
makanan, minuman dan tembakau. Meningkatnya kinerja subsektor industri makanan,
minuman dan tembakau terkait dengan karakteristik permintaan produk makanan
yang cenderung kurang elastis terhadap perubahan pendapatan. Peningkatan
subsektor ini didukung pula oleh hasil survei penjualan eceran yang menunjukkan
peningkatan. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh 8,59%, naik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya 5,69%. Pertumbuhan yang tinggi tersebut
terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sub sector perdagangan yang memiliki kotribusi terbesar
pada sector ini. Subsektor perdagangan tumbuh sebesar 9,15%, naik dari tahun
2004 sebesar 5,50%. Omset penjualan anggota Asosiasi Penjualan Retail Indonesia
pada tahun 2005 diperkirakan pencapai Rp41,0 triliun, naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp35 triliun.
Pesatnya pertumbuhan sub sektor perdagangan tercermin dari meningkatnya jumlah
pasar modern, baik hypermarket, supermarket, maupun pusat perdagangan modern
yang lain,Selain itu, pertumbuhan di sector perdagangan juga didukung oleh
peningkatan kegiatan usaha UMKM sektor perdagangan, yang antara lain tercermin
pada peningkatan pertumbuhan pembiayaan kredit UMKM perbankan dari 27,4% pada
tahun 2004 menjadi 30,2% pada tahun 2005. Sementara itu, di subsektor hotel dan
restoran mengalami perlambatan pertumbuhan, dari 7,93%
menjadi
6,69%. Perlambatan tersebut antara lain dipengaruhi oleh turunnya jumlah
kunjungan wisatawan. Penurunan yang cukup signifikan terjadi padadaerah
kunjungan wisata Bali dan Batam, terutama pasca terjadinya peristiwa bom Bali
di awal Oktober 2005. Sementara itu, dilihat dari rata-rata lama tinggal (average
of stay) dan tingkat hunian hotel (occoupancy rate), perkembangan di
2005 tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan di sub sektor hotel, sub sektor restoran
juga mengalami pertumbuhan yang melambat. Sektor Pertanian mencatat pertumbuhan
sebesar 2,49%, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 3,26%. Perlambatan
tersebut terjadi pada semua subsektor kecuali subsektor perkebunan. Kelompok
tanaman pangan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun 2004 yang disebabkan oleh
berkurangnya luas area panen padi dari 11.922.974 Ha menjadi 11.800.000 Ha.
Turunnya luas areal panen tersebut antara lain dipengaruhi oleh kurangnya
insentif bagi petani padi akibat tingginya biaya produksi yang tidak dikuti
oleh peningkatan harga jual yang sepadan. Sementara itu, perlambatan
pertumbuhan di subsector peternakan dan subsektor perikanan disebabkan oleh
kenaikan biaya produksi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga
BBM. Khusus sub sector peternakan, wabah flu burung turut berpengaruh terhadap
kinerja subsektor ini. Gencarnya upaya Pemerintah dalam menindak pembalakan
liar menyebabkan perlambatan pertumbuhan di subsector kehutanan Sektor
Pertambangan mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, dari -4,48% menjadi 1,59%. Perbaikan pertumbuhan ditopang
oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor pertambangan tanpa migas
(7,76%) dan subsektor penggalian (7,32%) karena adanya peningkatan permintaan
(Grafik 2.26). Sementara itu, untuk subsektor minyak dan gas bumi menunjukkan perbaikan
walaupun masih tumbuh negatif. Perbaikan tersebut dipengaruhi oleh upaya-upaya
intensif yang dilakukan oleh instansi yang berwewenang sehingga kapasitas
produksi tetap tinggi, walaupun dihadapkan pada kurangnya eksplorasi sumur
minyak dan turunnya produktivitas sumur-sumur yang sudah tua sektor transportasi dan komunikasi pada tahun
laporan masih mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi (12,97%), namun sedikit
melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (13,38%). Pertumbuhan yang masih
cukup tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan yang tinggi pada sub
sektor telekomunikasi Jumlah pelanggan telepon baik seluler maupun fixed
line yang meningkat di atas 30% mengkonfirmasi kinerja subsektor ini.
Sebaliknya, subsektor transportasi sangat terpengaruh oleh kenaikan harga BBM,
sehingga pada tahun laporan mengalami pertumbuhan yang melambat, yaitu hanya
tumbuh 6,32%, dibanding 8,76% pada tahun 2004. perlambatan yang cukup
signifikan terutama terjadi pada komponen angkutan udara yang tercermin dari
jumlah penumpang domestik yang cenderung menurun pada tahun 2005. Pada tahun
2005 sektor bangunan tumbuh melambat (7,34%), lebih rendah dari tahun lalu
(7,49%). Perlambatan tersebut tercermin dari menurunnya pertumbuhan penjualan
semen, melambatnya pertumbuhan kredit properti komersial, dan rendahnya
realisasi proyek Pemerintah yang terkendala oleh masalah administrasi.
Sebaliknya, di sektor swasta berbagai proyek properti komersial masih mencatat
pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti apartemen dan pusat perbelanjaan. Sektor
Listrik, Gas dan Air Minum mencatat peningkatan pertumbuhan yang cukup tinggi,
dari 5,2% pada tahun 2004 menjadi 6,5% pada tahun 2005. Peningkatan pertumbuhan
pada sektor Listrik, Gas, dan Air Minum antara lain tercermin dari konsumsi listrik
yang masih meningkat seiring dengan kegiatan ekonomi yang secara umum masih
cukup baik. Dari sisi pasokan, adanya tambahan pasokan listrik baru sebesar 443
MW yang berasal dari 11 unit pembangkit listrik baru3 dipastikan memberikan
kontribusi yang cukup besar pada pertumbuhan di sektor ini. Kinerja
perekonomian Indonesia juga tercermin dalam perspektif ekonomi regional. Secara
keseluruhan pertumbuhan disetiap zona ekonomi mengindikasikan perlambatan
walaupun masih lebih baik dari kinerja tahun 2004. Zona Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua (Kali- Sulampua) mencatat pertumbuhan PDB tertinggi
dibandingkan zona lainnya. Sementara itu zona Sumatera, mengalami peningkatan
inflasi yang lebih tinggi dibandingkan zona lainnya (Boks: Tinjauan Ekonomi Regional).
II.
PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN
2006
Perekonomian Indonesia
tahun 2006 berada dalam tren yang membaik sejak pertengahan tahun, setelah
sebelumnya sempat melemah terutama akibat penurunan daya beli masyarakat
pascakenaikan harga BBM Oktober 2005. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006
mencapai 5,5% banyak didorong peningkatan stimulus fiskal serta kinerja ekspor
yang tetap tinggi sehingga dapat menahan dampak pelemahan daya beli masyarakat
tersebut. Secara sektoral, peningkatan pertumbuhan terutama terjadi pada
kelompok sektor primer dan kelompok sektor jasa. Kuatnya peran kedua faktor
tersebut dalam perkembangannya mendorong percepatan pemulihan kegiatan ekonomi
sejak paro kedua tahun 2006. Namun demikian, beberapa permasalahan struktural
yang terjadi di tingkat mikro secara umum mengakibatkan efektivitas stimulus
kebijakan makroekonomi dalam meningkatkan kinerja perekonomian menjadi tidak
optimal. Sebagai dampak lanjutannya, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 tidak
dibarengi perbaikan berarti pada penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan
serta pengurangan
ketimpangan pendapatan
antar kelompok masyarakat
PERMINTAAN AGREGAT
Perkembangan komponen PDB berdasarkan
pengeluaran secara umum mencerminkan peran positif stimulus fiskal, dampak
peningkatan harga komoditas primer dunia, dan pengaruh penurunan daya beli
masyarakat. Konsumsi Pemerintah meningkat cukup tinggi sejalan dengan langkah-langkah stimulus fiskal. Sementara
itu, konsumsi swasta tumbuh melambat akibat melemahnya daya beli masyarakat pascakenaikan
harga
BBM, pada Oktober 2005. Pertumbuhan investasi juga melambat sejalan dampak
penurunan daya beli masyarakat dan akibat belum membaiknya iklim investasi.
Perkembangan investasi ini menyebabkan pangsainvestasi dalam pembentukan PDB
2006 menurun dibandingkan pangsanya pada 2005. Pada sisi lain, ekspor tetap
tumbuh tinggi sejalan dengan respons pelaku domestik terhadap kenaikan harga
komoditas
primer.
Sementara itu, impor tumbuh melambat terutama pada paro pertama 2006 sejalan
dengan melemahnya permintaan domestic Pertumbuhan konsumsi Pemerintah yang
cukup tinggi dipengaruhi oleh arah kebijakan fiskal yang cenderung ekspansif3Ω.
Konsumsi Pemerintah meningkat mencapai 9,6% (yoy) bila dibandingkan 6,6% (yoy)
pada 2005. Berdasarkan komponennya konsumsi Pemerintah tersebut banyak
bersumber pada belanja pegawai, belanja lainnya, dana alokasi umum (DAU), dan
dana bagi hasil (DBH). Selain itu, peningkatan konsumsi Pemerintah juga
ditopang oleh stimulus BLT yang meningkat sejalan dengan respons kebijakan untuk
menahan penurunan daya beli masyarakat. Pengaruh penurunan daya beli Terhadap
konsumsi swasta cukup kuat. Di tengah penurunan daya beli tersebut, yang antara
lain tercermin pada penurunan indeks upah riil buruh, pertumbuhan konsumsi
swasta melambat dari 4,0%(yoy) menjadi 3,2%(yoy) meskipun telah terdapat
stimulus fiscal. Namun demikian, dalam perkembangannya konsumsi swasta kembali
dalam tren meningkat terutama mulai pertengahan 2006. Tren peningkatan konsumsi
swasta ini antara lain tercermin pada pertumbuhan M1 riil yang juga cenderung
meningkat pada periode yang sama. Pengaruh kuat penurunan daya beli terhadap
konsumsi juga tercermin dari perkembangan komponen konsumsi swasta. Penurunan
daya beli masyarakat mengakibatkan konsumsi swasta untuk kelompok bukan makanan
tumbuh melambat cukup dalam dari 5,4% pada 2005 menjadi 4,1%. Sementara itu,
pertumbuhan konsumsi swasta untuk komponen makanan menurun sedikit dari 2,4%
menjadi 2,1% pada 2006. Penurunan konsumsi bukan makanan tercermin dari lebih
rendahnya penjualan beberapa barang tahan lama seperti kendaraan penumpang,
sepeda motor dan barang elektronik. Secara tahunan penjualan kendaraan
penumpang pada 2006 tumbuh negatif 40,2% atau menurun dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 10,74%. Demikian pula, penjualan sepeda motor dan barang
elektronik selama 2006 tumbuh negatif masing-masing 12,8% dan 5,3%, dibanding
tahun sebelumnya yang tumbuh positif 30,5% dan 5,5% Pelambatan konsumsi swasta
juga dipengaruhi oleh penurunan keyakinan konsumen terhadap prospek ekonomi.
Keyakinan konsumen, khususnya sampai dengan paro pertama 2006, terindikasi
menurun seperti diperlihatkan hasil survei tentang keyakinan konsumen di Survei
Konsumen-Bank Indonesia (BI) dan Survei Tendensi Konsumen-Badan Pusat Statistik
(BPS). Beberapa komponen penting yang mempengaruhi perkembangan tersebut antara
lain keyakinan konsumen atas penghasilan, ketepatan pembelian barang tahan lama
dan kondisi ekonomi saat ini yang secara umum dalam arah menurun. Selain itu,
pengaruh kebijakan moneter ketat juga mempengaruhi pelambatan konsumsi swasta
tersebut. Suku bunga kredit yang tinggi mengakibatkan sumber pembiayaan konsumsi
dari perbankan juga menurun. Kredit konsumsi pada 2006 hanya tumbuh rendah
18,1% dibandingkan tahun sebelumnya 36,8%4Ω. Investasi, khususnya investasi
swasta, juga melambat sejalan dengan berkurangnya daya dorong permintaan domestik
akibat penurunan daya beli dan arah kebijakan moneter ketat yang sedang
ditempuh. Total investasi pada 2006 tumbuh sebesar 2,9% atau melambat dari
tahun sebelumnya sebesar 10,8%. Pengaruh kuat penurunan daya beli tersebut
khususnya terjadi pada investasi nonbangunan yang mencatat pertumbuhan negative
12,8% dibandingkan pertumbuhan positif yang cukup tinggi sebesar 20,5% pada
2005. Sementara itu, investasi bangunan tetap tumbuh cukup tinggi mencapai
9,0%. Pelambatan investasi antara lain tercermin dari pelambatan kredit
investasi yang tumbuh dari 18,0% menjadi 12,5% . Pelambatan pertumbuhan
investasi juga dipengaruhi menurunnya
persepsi pelaku dunia usaha terhadap prospek penanaman modal sejalan dengan
penurunan daya beli tersebut. Beberapa survei seperti Survei Kegiatan Dunia
Usaha-BI (Tabel 2.3), survei JETRO dan Indeks Tendensi Bisnis-BPS secara umum mengindikasikan penurunan keyakinan berusaha
investor. Perbaikan keyakinan investor terindikasi mulai meningkat sejak paro
kedua 2006. Survei JETRO mengindikasikan optimism pengusaha Jepang di
Indonesia, baik untuk kelompok manufaktur maupun nonmanufaktur, baru membaik
menjelang akhir tahun. Indeks Tendensi Bisnis BPS mengindikasikan peningkatan permintaan barang baik dari dalam negeri
maupun luar negeri mulai paro kedua 2006. Peningkatan investasi juga terhambat
akibat masih terdapatnya permasalahan struktural di tingkat mikro. Hasil identifikasi
Bank Indonesia menunjukkan akumulasi capital berupa sarana dan prasarana untuk
kegiatan produksi. serta produktivitas tenaga kerja relatif belum membaik. Ketersediaan infrastruktur yang belum memadai juga
menjadi permasalahan di sisi kapital ini. Sementara produktivitas perekonomian
seperti tercermin pada indikator total factor productivity (TFP) Indonesia
belum meningkat signifikan, antara lain disebabkan pemanfaatan teknologi yang
belum optimal dibandingkan Negara pesaing. Beban permasalahan untuk meningkatkan
daya saing juga semakin berat seiring dengan permasalahan struktur birokrasi
yang belum efisien seperti duplikasi peraturan Pemerintah di tingkat instansi, Pemerintah
daerah, dan Pemerintah pusat. Selain itu, struktur pasar barang yang masih
bersifat oligopolistik serta struktur pasar tenaga kerja yang kaku juga menjadi
bagian permasalahan tersebut. Secara keseluruhan, berbagai permasalahan struktural
ini mengakibatkan iklim berusaha belum membaik secara signifikan yang pada
akhirnya turut mempengaruhi lambatnya pertumbuhan investasi. Survei International
Finance Corporation mengindikasikan peningkatan daya saing Indonesia belum
sekuat peningkatan di negara pesaing sebagaimana tercermin dari peringkat daya
saing yang menurun dari 131 pada tahun sebelumnya menjadi 135. Hasil survei
tersebut dan hasil SKDU menunjukkan faktor yang mempengaruhi daya saing, antara
lain terkait dengan kinerja perekonomian, efisiensi Pemerintah, efisiensi dalam
melakukan usaha dan kondisi infrastruktur. Berdasarkan kepemilikan investasi,
pelambatan investasi banyak berasal dari penurunan investasi swasta. Kondisi
ini antara lain tercermin pada perkembangan kesenjangan tabungan-investasi
(saving-investment gap) sektor swasta yang mencatat peningkatan surplus dari 0,6%
menjadi 3,7% dari PDB. Hal ini berbeda dengan kesenjangan tabungan-investasi sector
Pemerintah yang mencatat peningkatan defisit menjadi 1,0% dari PDB sejalan
dengan arah kebijakan fiskal yang ekspansif. Secara keseluruhan, kondisi ini mengakibatkan
surplus kesenjangan tabungan-investasi perekonomian meningkat kembali dari 0,1%
menjadi 2,6% dari PDB. Ekspor tetap mencatat pertumbuhan tinggi, meskipun
melambat dibandingkan 2005. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa pada 2006 tetap
kuat mencapai 9,2%. Kenaikan ekspor tersebut, terutama didorong ekspor barang
primer pada paro pertama 2006 sebagai respons produsen domestik terhadap
peningkatan harga komoditas primer di pasar dunia (Tabel 2.1). Sementara itu, kinerja ekspor komoditas nonprimer masih
belum cukup kuat sejalan dengan pelambatan pertumbuhan investasi swasta.
Pertumbuhan ekspor yang tinggi terutama terjadi pada barang tambang dan
pertanian. Beberapa produk tambang yang mengalami peningkatan tinggi antara
lain batubara, aluminium dan nikel. Sementara itu, ekspor migas belum optimal
akibat terbatasnya kenaikan produksi dan investasi di sector perminyakan,
meskipun pada saat bersamaan harga minyak dunia masih berada pada level yang
tinggi.. Untuk produk pertanian peningkatan tinggi tercatat pada komoditas kelapa
sawit dan karet. Permintaan impor barang dan jasa bergerak sejalan dengan
perkembangan permintaan domestik. Permintaan domestik yang melambat akibat
penurunan daya beli masyarakat banyak mempengaruhi penurunan pertumbuhan impor
barang dan jasa dari 17,1% pada 2005 menjadi 7,6%. Kuatnya pengaruh penurunan
daya beli terhadap impor antara lain tercermin pada pertumbuhan impor barang
konsumsi yang melambat pada 2006. Selain itu,permintaan impor barang modal
tumbuh melambatsejalan dengan pelambatan pertumbuhan investasi. Dari
perkembangan triwulanan, pertumbuhan impor mulai cenderung meningkat sejak 2004 2005 2006
paro kedua 2006 sejalan dengan membaiknya kondisi permintaan domestik.
SISI PENAWARAN
Peran investasi swasta yang menurun dan
permintaan eksternal untuk barang-barang primer yang tetap tinggi juga
tercermin pada perkembangan PDB sektoral.Pertumbuhan tinggi PDB sektoral banyak
terjadi pada sektor yang berbasis
komoditas primer, khususnya pertanian, dan kelompok sektor jasa.
Sementara itu, pertumbuhan sektor sekunder seperti industri pengolahan secara
keseluruhan tahun, belum meningkat sejalan dengan pelambatan pertumbuhan
investasi. Pertumbuhan sektor industri pengolahan terlihat mulai meningkat
sejak paro kedua 2006. Dengan perkembangan ini, pangsa industri pengolahan
dalam pembentukan PDB 2006 relatif menurun dibandingkan pangsa pada 2005. Pengaruh
kuat penurunan daya beli dan keyakinan pelaku usaha mempengaruhi penurunan
kinerja beberapa subsektor industri pengolahan. Pelambatan
pertumbuhan terutama terjadi pada kelompok industry alat angkut, mesin dan
peralatannya yang merupakan pangsa terbesar PDB sektor industri. Kelompok
industri alat angkut, mesin dan peralatannya pada 2006 tumbuh melambat dari
12,4% menjadi 7,5%, terutama disebabkan penurunan kebutuhan barang modal pada
industri. Hal ini antara lain tercermin pada total produksi motor dan mobil
yang tumbuh negatif sebesar 19,8% serta penjualan barang elektronik yang tumbuh
melambat dari tahun lalu menjadi 5,3%(yoy). Penurunan penjualan barang
elektronik juga dipengaruhi oleh keyakinan pelaku dunia usaha yang belum
membaik. Kondisi ini antara lain tercermin dari indeks sentimen bisnis hasil
Survei JETRO, termasuk di subsektor elektronik, yang masih rendah. Sejalan
dengan kinerja tersebut, kelompok industri tekstil barang kulit, dan alas kaki
juga masih tumbuh rendah sekitar 1,2%. Pelambatan beberapa subsector utama
sektor industri pengolahan ini juga tercermin dari Survei Produksi Bank
Indonesia dan Industrial Production Index BPS yang mengalami penurunan
dibandingkan 2005 Sementara itu, kinerja subsektor kelompok industry makanan,
minuman, dan tembakau mencatat pertumbuhan lebih baik. Kelompok industri
makanan, minuman dan tembakau tumbuh
sebesar 7,2%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,7% .
Peningkatan ini terkait dengan karakterisitik permintaan terhadap produk sektor
industri makanan dan minuman yang tidak banyak terpengaruh oleh penurunan daya
beli. Kinerja sektor sekunder, khususnya sektor industry pengolahan, yang
tersendat tidak terlepas dari pengaruh permasalahan struktural di tingkat
mikro. Hasil identifikasi menunjukkan indeks usia kapital di sektor industry
pengolahan terlihat menurun dibandingkan sektor lainnya. Kondisi ini
selanjutnya mengakibatkan penurunan efisiensi penggunaan faktor input dalam
meningkatkan laju pertumbuhan output, terutama dibandingkan dengan periode
sebelum krisis. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran pada 2006
melambat, sejalan dengan dampak penurunan daya beli masyarakat. Sektor ini
mencatat pertumbuhan secara tahunan sebesar 6,1%, terutama disebabkan
pelambatan pertumbuhan subsector perdagangan dari 8,9% pada 2005 menjadi
sebesar 6,4% pada 2006. Kinerja subsektor perdagangan ini antara lain tercermin
dari lebih rendahnya pertumbuhan arus barang domestik dan rata-rata indeks
penjualan eceran pada 2006. Sementara subsector Hotel dan restoran tumbuh
melambat masing-masing menjadi 2,9%(yoy) dan 5,4%(yoy) tergambar pada penurunan
jumlah wisatawan dan tingkat hunian hotel
dan Sektor pertanian mencatat peningkatan pertumbuhan, sejalan dengan
pengaruh kenaikan produksi padi dan permintaan ekspor. Pertumbuhan sector pertanian
secara tahunan meningkat dari 2,7% menjadi 3,0%, terutama didorong subsektor
tanaman bahan makanan dan subsektor perkebunan (Tabel 2.10). Produksi beras
pada 2006 meningkat 0,5% sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan subsektor
tanaman bahan makanan. Pada subsektor perkebunan, peningkatan tertinggi terjadi
pada komoditas kelapa sawit dan karet yang antara lain didorong peningkatan
permintaan ekspor untuk kedua komoditas tersebut. Sektor pengangkutan dan
komunikasi masih tumbuh cukup tinggi mencapai 13,6% atau lebih tinggi dibandingkan
Pertumbuhan pada 2005 sebesar 13,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi terutama
didorong subsektor komunikasi sejalan dengan jumlah pelanggan telepon seluler
yang masih tumbuh tinggi di atas 30%. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
ini adalah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan inovasi di bidang
komunikasi yang meningkat dan persaingan pasar yang semakin ketat. Sementara
itu, pertumbuhan sektor pengangkutan relative stabil. Kondisi ini antara lain
tercermin pada pertumbuhan penumpang kereta api dan angkutan udara yang tidak
banyak berbeda dibandingkan tahun lalu. Sejalan dengan berkembangnya investasi bangunan,
sektor bangunan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dari 7,4% menjadi
9,0%. Kinerja ini antara lain dipengaruhi dari peningkatan jumlah areal lahan
industri dan apartemen yang tumbuh tinggi dibandingkan tahun sebelumnya Salah
satu faktor yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan di sektor bangunan antara
lain keyakinan investor di sektor bangunan terhadap prospek perbaikan ekonomi dalam
jangka menengah panjang. Selain itu, beberapa proyek infrastruktur Pemerintah
yang sedang dalam tahap pembangunan seperti jalan tol, air minum dan
bandara
juga mempengaruhi kondisi ini, meskipun belum terlalu besar. Dari sisi
pembiayaan, peningkatan kinerja sektor ini sebagian didanai oleh dana noncredit
perbankan. Hal ini tercermin pada pelambatan pertumbuhan kredit yang disalurkan
ke sektor bangunan melalui kredit properti dan konstruksi dari 40,5% menjadi 30,3%
pada 2006.
III.
PERTUMBUHAN
EKONOMI MAKRO 2007
Secara
keseluruhan, perkembangan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2007 menunjukkan
kinerja yang membaik. Hal ini tercermin dari pencapaian pertumbuhan ekonomi
tertinggi pascakrisis yang ditopang oleh stabilitas makroekonomi yang semakin
kokoh dan terjaga baik. Dari sisi permintaan, akselerasi pertumbuhan tersebut
terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi
seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan prospek ekonomi. Meskipun
sedikit melambat, ekspor tetap tumbuh tinggi di tengah ancaman perlambatan
ekonomi dunia. Ekspansi di sisi permintaan tercermin pula pada peningkatan
utilisasi kapasitas produksi di hampir semua sektor ekonomi. Beberapa sektor
utama penopang pertumbuhan ekonomi seperti industri pengolahan, sektor
pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh membaik dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti pula dengan
penyerapan angkatan kerja yang lebih tinggi, pendapatan per kapita yang
meningkat dan indeks kedalaman serta keparahan kemiskinan yang menurun.
SISI AGGREGATE DEMAND
Pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006, bahkan
merupakan pencapaian tingkat pertumbuhan tertinggi pascakrisis. Secara
keseluruhan perekonomian berkembang menuju kondisi yang lebih baik meskipun masih
dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber baik dari sisi global
maupun domestik.
Dari
sisi eksternal, dampak lonjakan harga minyak dan krisis subprime mortgage di
AS dapat diminimalkan sehingga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan deficit
fiskal tetap terjaga. Terciptanya stabilitas makroekonomi di dalam negeri serta
perbaikan daya beli masyarakat memberikan landasan yang kokoh dan kondusif bagi
penguatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007. Setelah menurun menjadi 5,5%
(yoy) pada tahun 2006, pertumbuhan ekonomi meningkat signifikan pada tahun 2007
hingga mencapai 6,3%. Di sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomin yang
impresif tercermin pada peningkatan pertumbuhan permintaan domestik serta
relatif tingginya ekspor. Pada paruh pertama tahun 2007, daya beli masyarakat,
yang menurun pada tahun 2006 pascakenaikan harga BBM tahun 2005, berangsur
membaik sehingga mendorong peningkatan konsumsi swasta. Investasi yang sempat melambat
sejalan dengan berkurangnya daya dorong permintaan domestik, mulai menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Ekspor di awal tahun masih tumbuh tinggi didukung
oleh permintaan dunia dan harga internasional yang masih menarik, terutama
untuk komoditas berbasis sumber daya alam. Impor masih tumbuh tinggi sejalan dengan
perbaikan permintaan domestik dan ekspor. Pada paruh kedua, pulihnya daya beli
masyarakat telah mendorong konsumsi swasta tumbuh tinggi. Investasi terus
tumbuh dengan tren yang meningkat terutama bersumber dari penguatan permintaan
dalam negeri. Ekspor tumbuh melambat di akhir tahun seiring dengan perlambatan
permintaan global. Sementara itu, impor tumbuh tinggi di akhir tahun sejalan
dengan kuatnya permintaan domestik. Di sisi sektoral, seluruh sektor tumbuh
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Sektor-sektor yang tumbuh
signifikan adalah sektor transportasi dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan
air bersih, sector Pangunan, sektor keuangan, dan sektor perdagangan, hotel,
dan restoran. Sementara itu, sektor industri, perdagangan dan pengangkutan
masih merupakan sector penopang utama pertumbuhan. Sementara pangsa utama
sektor-sektor terhadap perekonomian tidak mengalami perubahan yaitu sektor
industri pengolahan, sector pertanian, serta sektor perdagangan, hotel, dan
restoran. Kebijakan sektor riil diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi, Pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan yang terkait dengan percepatan pengembangan sektor riil dan
pemberdayaan UMKM. Paket kebijakan tersebut merupakan penguatan
kebijakan-kebijakan lintas sektoral yang telah ada dan penerbitan
kebijakan-kebijakan baru. Paket kebijakan tersebut mencakup perbaikan iklim
investasi, reformasi sistem keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur dan
pemberdayaan UMKM yang dibagi ke dalam: i) paket perbaikan iklim investasi; ii)
reformasi sistem keuangan; iii) percepatan pembangunan infrastruktur; dan iv)
pemberdayaan UMKM. Sampai dengan November 2007, Pemerintah telah berhasil
menyelesaikan sebagian besar target yang ditetapkan dalam Inpres tersebut. Di
bidang kesejahteraan, kebijakan-kebijakan dilakukan antara lain percepatan
upaya penanggulangan kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD), melanjutkan program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) guna membantu siswa tidak mampu
serta berbagai kebijakan lainnya. Kenaikan pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2007 juga diiringi oleh pengurangan jumlah pengangguran dan penduduk
miskin. Ekspansi perekonomian pada tahun 2007 mampu mendorong penyerapan tenaga
kerja yang lebih besar dibanding pertambahan angkatan kerja. Konsekuensinya,
tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2007 turun menjadi 10,5 juta orang
dibandingkan dengan 11,1 juta orang pada tahun 2006. Penurunan angka
pengangguran tersebut pada gilirannya mampu menurunkan jumlah penduduk miskin
dari 39,30 juta orang (17,7% dari total penduduk) pada tahun 2006 menjadi 37,17
juta orang (16,6% dari total penduduk) pada tahun 2007. Perbaikan di bidang
kesejahteraan ini memberikan dampak positif pada beberapa indicator yang
ditargetkan di dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium tahun 2015 (Millenium
Development Goals 2015) khususnya yang terkait dengan penanggulangan
kemiskinan dan kelaparan, penurunan tingkat kematian anak, dan peningkatan
jumlah anak yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah.
SISI AGGREGATE
SUPPLY
Dari
sisi penawaran, hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi
dibanding dengan tahun 2006. Perkembangan tersebut didukung oleh indikasi peningkatan
utilisasi kapasitas produksi yang terjadi di hampir semua sektor. Sektor-sektor
yangtumbuh tinggi pada tahun 2007 adalah sektor-sektor nontradables yaitu
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor
bangunan, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sementara itu, sektor-sektor
yang merupakan penopang perekonomian seperti sektor industri pengolahan dan
sektor pertanian tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006. Peningkatan
permintaan domestik dan masih tingginya ekspor mendorong penguatan pertumbuhan industry
pengolahan. Pada tahun 2007, industri pengolahan tumbuh sebesar 4,7% (yoy),
lebih tinggi bila dibandingkan dengan 4,6% (yoy) pada tahun 2006 (Tabel 2.7). Pertumbuhan
ini terutama ditopang oleh subsektor alat angkutan, mesin dan perlengkapannya
serta subsector makanan, minuman, dan tembakau. Membaiknya pertumbuhan industri
pengolahan tercermin pada pertumbuhan tahunan indeks produksi industri
pengolahan Bank Indonesia dan BPS yang menunjukkan peningkatan sejak awal tahun
(Grafik 2.26 dan Grafik 2.27). Namun demikian, perlu dicermati tren pertumbuhan
triwulanan sektor industri pengolahan yang terus melambat hingga akhir tahun
yang bersumber dari melambatnya pertumbuhan beberapa subsektor. Pertumbuhan
sektor industri pengolahan didukung oleh subsektor industri alat angkut, mesin,
dan peralatannya yang masih tumbuh tinggi. Pada tahun 2007, subsector industri
alat angkut, mesin dan peralatannya tumbuh sebesar 9,7% dibandingkan dengan
7,6% pada tahun 2006. Peningkatan ini terutama didorong oleh membaiknya
permintaan domestik yaitu konsumsi swasta dan investasi yang meningkat. Hal ini
terlihat pada produksi kendaraan bermotor dan barang elektronik yang meningkat
pada tahun 2007.
IV.
PERTUMBUHAN
EKONOMI TAHUN 2009
Kondisi
perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan
perekonomian Indonesia pada sejumlah tantangan yang tidak ringan selama tahun
2009. Tantangan itu cukup mengemuka pada awal tahun 2009, sebagai akibat masih
kuatnya dampak krisis perekonomian global yang mencapai puncaknya pada triwulan
IV 2008. Ketidakpastian yang terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi
global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan
saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak
negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi tersebut mengakibatkan
stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih mengalami
tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun akibat
kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi tersebut menurunkan
kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta berpotensi
menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam beberapa tahun
sebelumnya. Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah
menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem
keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih
dalam
melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal. Berbagai kebijakan yang ditempuh
pada tahun 2009 pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari serangkaian kebijakan
yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah pada triwulan IV 2008.
Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja berhasil menjaga stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi
juga memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan
ekonomi dapat kembali membaik sejak triwulan II 2009. Keberhasilan tersebut
juga tidak terlepas dari kebijakan yang secara sistematis telah ditempuh untuk
memperkuat fundamental ekonomi dan keuangan pascakrisis 1997/1998. Secara umum,
perekonomian Indonesia tahun 2009 telah mampu melewati tahun penuh tantangan
tersebut dengan capaian yang cukup baik. Meskipun melambat di bandingkan dengan tahun 2008, pertumbuhan
ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4,5%, tertinggi ketiga di dunia setelah China
dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar di tengah kontraksi
perekonomian global dapat dihindari, karena struktur ekonomi yang banyak
didorong oleh permintaan domestik. Setelah mengalami tekanan berat pada
triwulan I 2009, stabilitas pasar keuangan dan makroekonomi juga semakin
membaik sampai dengan akhir tahun 2009. Hal itu tercermin pada berbagai indicator
di sektor keuangan seperti Currency Default Swap (CDS), Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG), imbal hasil (yield) SUN, dan nilai tukar yang
membaik. Sementara itu, inflasi juga tercatat rendah 2,78%, terendah dalam satu
decade terakhir. Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian Indonesia
pada 2009 telah semakin menguatkan optimisme akan berlanjutnya proses perbaikan
kondisi perekonomian ke depan. Optimisme tersebut juga didukung oleh semakin
membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Meskipun demikian, dinamika
perekonomian ke depan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berpotensi
menghambat akselerasi perbaikan ekonomi. Dari sisi eksternal, tantangan
terutama berkaitan dengan dampak dari strategi mengakhiri langkah kebijakan
yang ditempuh di masa krisis (exit strategy), yang antara lain berupa pelonggaran
likuiditas dan ekspansi fiskal di negara maju. Tantangan eksternal juga
berhubungan dengan terjadinya kecenderungan polarisasi perdagangan dunia, serta
masih berlangsungnya ketidakseimbangan dalam kinerja perekonomian global. Dari
sisi domestik, tantangan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang masih dapat
mengganggu efektivitas kebijakan moneter, seperti masih cukup besarnya ekses
likuiditas perbankan, masih besarnya peranan investasi portofolio dalam struktur
aliran modal masuk, masih munculnya potensi penggelembungan harga aset di pasar
keuangan, masih dangkalnya pasar keuangan, dan berbagai permasalahan struktural
di sektor riil. Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat,
sementara stabilitas harga tetap terjaga. Prospek pertumbuhan ekonomi tersebut
didukung oleh semakin pulihnya kinerja ekspor dan mulai meningkatnya kegiatan
investasi. Membaiknya ekspor sejalan dengan perbaikan prospek perekonomian global
termasuk negara-negara maju. Meningkatnya permintaan eksternal dan menguatnya
permintaan domestik diperkirakan mendorong dunia usaha untuk mulai meningkatkan
kapasitas produksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2010
diperkirakan mencapai 5,5% - 6,0% (yoy). Meskipun pertumbuhan ekonomi
meningkat, tekanan terhadap inflasi diperkirakan tetap terkendali dan berada
pada kisaran sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ± 1% (yoy). Dalam perspektif
yang lebih panjang, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap membaik karena
didukung oleh berbagai upaya peningkatan kapasitas, produktivitas, dan
efisiensi perekonomian secara berkesinambungan. Akselerasi pertumbuhan ekonomi
akan terus meningkat dan diprakirakan mencapai kisaran 6,5% – 7,5% (yoy) pada
tahun 2014. Peningkatan kapasitas perekonomian tersebut mendukung upaya
menurunkan inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah 4% + 1% (yoy). Kebijakan
Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang.
Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian
sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus
meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar
keuangan. Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung penciptaan
stabilitas sistem keuangan serta peningkatan efektivitas transmisi kebijakan
moneter. Selain itu, Bank Indonesia akan semakin memperkuat koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah, baik dalam
menjaga
stabilitas makroekonomi maupun memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional
.
Perkembanga
PDB dari sisi Agregate demand dan Agregate supply
Pada triwulan I 2009,
dampak krisis ekonomi global yang mencapai puncaknya pada triwulan IV 2008
terlihat masih sangat terasa. Risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan
global masih tinggi dipicu oleh memburuknya kinerja lembaga-lembaga keuangan
terkemuka, seperti Citigroup, American International Group (AIG), dan Bank of
America (BoA). Kondisi tersebut mengakibatkan investor mengurangi penempatan
dananya (deleveraging) di pasar kredit dan pasar modal dan menempatkan
ke aset yang berisiko rendah, khususnya surat berharga pemerintah AS (risk
free assets). Di samping itu, investor juga cenderung mengurangi penempatan
dananya di negara-negara emerging markets. Berbagai perkembangan
tersebut mengakibatkan keketatan likuditas di pasar uang, sementara kinerja
pasar saham global terus menurun. Penempatan dana di emerging markets semakin
menurun, karena diikuti oleh persepsi berlebihan atas risiko penempatan dana di
Negara tersebut yang tercermin pada masih tingginya level CDS untuk negara
berkembang, termasuk Indonesia. Perkembangan sektor keuangan global yang belum membaik,
berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan kontraksi yang
besar terjadi di negara maju. Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh di
banyak negara secara berangsur mampu mengurangi risiko sistemik di pasar
keuangan dan mulai menumbuhkan kembali kepercayaan pelaku pasar sejak triwulan
II 2009. Injeksi likuiditas yang dilakukan oleh bank-bank sentral mampu
meredakan keketatan pasar kredit sehingga menurunkan risiko di pasar keuangan
ke tingkat sebelum terjadinya kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008.
Sementara itu, langkah bankbank sentral untuk memperluas cakupan dan intensitas
operasi moneter serta melakukan penyelamatan system keuangan juga telah mampu
mengurangi ancaman risiko sistemik krisis keuangan global, termasuk ke
negaranegara emerging markets. Sejalan dengan pulihnya keadaan sektor
keuangan global tersebut, setahap demi setahap aktivitas perekonomian dunia
juga mengalami perbaikan. Gencarnya stimulus fiskal di berbagai negara
berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga yang mulai menunjukkan perbaikan.
Membaiknya indikator konsumsi tersebut diikuti oleh mulai meningkatnya
aktivitas industri, khususnya sektor manufaktur sejak triwulan III 2009. Perbaikan
akitivitas ekonomi dunia tersebut juga ditopang negara berkembang di Asia
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging
markets Asia, terutama China dan India, mampu menjadi penyeimbang relative lambannya
proses pemulihan ekonomi di negara maju. Dengan tren perbaikan ini,
perekonomian dunia pada
tahun
2009 mengalami proses pemulihan yang lebih cepat. Meskipun mengalami kontraksi
sebesar 0,8%, capaian pertumbuhan ekonomi lebih baik dari berbagai perkiraan
sebelumnya. Sejalan dengan pemulihan ekonomi global yang lebih cepat, kinerja
sektor eksternal Indonesia menjadi lebih baik dari prakiraan semula. Hal itu
tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang mencatat surplus 10,6 miliar
dolar AS. Membaiknya kinerja neraca transaksi berjalan didukung oleh membaiknya
kinerja ekspor terutama dari komoditas yang berbasis sumber daya alam (SDA),
seperti komoditas sektor pertambangan. Pada akhir tahun 2009 kinerja ekspor
juga didukung oleh ekspor komoditas manufaktur, sejalan dengan semakin kuatnya
pemulihan ekonomi negara maju terutama di AS dan Jepang. Sementara itu, impor
melambat cukup signifikan terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan
permintaan domestik. Kinerja neraca transaksi modal dan finansial secara
keseluruhan tahun mencatat surplus 3,7 miliar dolar AS, atau lebih tinggi dari
prakiraan awal. Keberhasilan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengembalikan
kepercayaan pelaku pasar berkontribusi pada mengalirnya kembali aliran modal
masuk jangka pendek sejak triwulan II 2009. Perkembangan neraca transaksi
berjalan serta neraca transaksi modal dan finansial tersebut secara keseluruhan
mengakibatkan neraca pembayaran pada tahun 2009 mencatat surplus 12,5 miliar
dolar AS, dibandingkan dengan prakiraan defisit pada awal tahun 2009. Dengan kinerja
ini, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2009 mencapai 66,1 miliar dolar
AS, setara dengan 6,5 bulan impor barang dan jasa serta pembayaran utang luar negeri
(ULN) pemerintah. Kinerja sektor keuangan Indonesia juga banyak dipengaruhi
oleh dinamika sistem keuangan global. Secara khusus, tekanan berat yang terjadi
pada tahun 2008 masih berlanjut sampai dengan triwulan I 2009, dipicu oleh
penyesuaian portofolio investasi dan meningkatnya persepsi risiko di emerging
markets termasuk Indonesia. Hal itu tercermin pada masih tingginya CDS di
level 1.248, jauh di atas level normal di sekitar 200, dan melebarnya yield
spread antara global bond RI dan US Treasury Notes hingga sebesar
8,9%, di atas rata-rata tahun 2009 sebesar 3%. Tekanan di pasar keuangan
domestik juga ditunjukkan oleh IHSG yang turun tajam ke level 1.256 (titik
terendah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir), rata-rata yield SUN yang
masih tinggi hingga sempat mencapai 12,7% serta nilai tukar rupiah yang melemah
tajam ke level Rp12.020 per dolar AS pada bulan Maret 2009. Melemahnya nilai
tukar rupiah diikuti oleh meningkatnya counterparty risk di pasar valas,
seperti tercermin pada melebarnya spread jual beli nilai tukar rupiah ke
level Rp100. Masih tingginya tekanan di pasar keuangan pada triwulan I 2009
juga terefleksi pada masih tingginya Indeks Stabilitas Sistem Keuangan
(Financial Stability Index - FSI) yang mencapai level 2,09, melebihi batas atas
indikatif normal sebesar 2,0. Pengaruh ketidakpastian di pasar keuangan global
juga berimbas ke pasar uang rupiah. Di pasar uang antar bank (PUAB),
meningkatnya counterparty risk menyebabkan bank cenderung menahan
likuiditasnya dan membatasi transaksi antar banknya sehingga terjadi keketatan
likuiditas. Rata-rata volume transaksi di PUAB O/N masih tercatat sangat rendah
sampai akhir Januari 2009, yaitu sekitar Rp6 triliun dibandingkan dengan
rata-rata normalnya sekitar Rp13 triliun. Spread antara Jakarta
Inter-Bank Offered Rate (Jibor) tenor 1 minggu sampai dengan 6 bulan terhadap
O/N meningkat hingga mencapai 136 bps, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
periode sebelum krisis yang mencapai 63 bps. Dalam kondisi masih tingginya persepsi
risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan tersebut, perbankan lebih banyak
menempatkan dananya di instrumen moneter bank sentral seperti SBI dan FASBI, meskipun
BI Rate sudah menurun cukup agresif pada triwulan I 2009. Sejalan dengan
membaiknya pasar keuangan global sejak triwulan II 2009 serta langkah-langkah
kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, kepercayaan
investor terhadap pasar keuangan domestic mulai pulih. Hal itu tercermin pada
menurunnya persepsi risiko dan diikuti oleh derasnya aliran masuk modal asing
ke Indonesia. Indeks CDS menurun tajam ke level 160 dan yield spread antara
global bond RI dan US Treasury Notes menyempit ke level 1,7. Perkembangan tersebut mendorong perbaikan
kinerja pasar keuangan domestik yang tercermin pada peningkatan IHSG dan penurunan
yield SUN. IHSG ditutup menguat tajam pada level 2.534 pada akhir tahun
2009 dan rata-rata yield SUN menurun hingga mencapai 10,1%. Sejalan dengan
mulai menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan serta menguatnya dampak positif
berbagai kebijakan pelonggaran moneter, counterparty risk di PUAB juga
menurun. Penurunan risiko ini kemudian kembali meningkatkan volume transaksi
dan menurunkan spread suku bunga tertinggi dan terendah. Sementara itu,
ketahanan sektor perbankan semakin meningkat sejalan dengan membaiknya risiko
pasar, longgarnya kondisi likuiditas di pasar uang, dan upaya konsolidasi yang dilakukan
oleh perbankan. Perkembangan positif tersebut telah memperbaiki FSI ke level
1,91 pada akhir tahun 2009. Di pasar valas, membaiknya kondisi fundamental dan persepsi
risiko mendukung nilai tukar rupiah kembali pada tren menguat. Sejak awal
triwulan II 2009, nilai tukar rupiah terapresiasi 18,4% dan ditutup pada level Rp9.425
pada akhir Desember 2009. Penguatan rupiah ini juga dibarengi dengan
peningkatan kembali volume perdagangan di pasar valas. Selain itu, spread jual
beli nilai tukar rupiah juga kembali menurun ke level Rp10 sejalan dengan
menurunnya counterparty risk di pasar valas tersebut. Secara keseluruhan
tahun, level rupiah akhir tahun 2009 menguat 15,7% dibandingkan dengan level
akhir tahun 2008. Meskipun dalam tren menguat, perkembangan rupiah masih
mendukung daya saing produk ekspor Indonesia.
KESIMPULAN
Pertumbuhan ekonomi yang jika di tinjau dari sisi
permintaan agregat approach didominasi oleh sektor pengeluaran dan konsumsi
rumah tangga namun mengalami penurunan pertumbuhan disetiap tahunnya dan mulai
bangkit pada tahun 2009, dan nett ekspor mengalami peningkatan disetiap
tahunnya dan merupakan salah satu sektor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi meskipun pada tahun 2009 mengalami penurunan, dan ekspor dikurangi
impor barang berada pada posisi ke tiga yang mana mengalami peningkatan dari
tahun 2005 sampai 2008 dan mengalami penurunan pada tahun 2009 kemudian bangkit
lagi pada tahun 2010. Pembentukan modal berada pada posisi ke empat yang mana
juga mengalami peningkatan yang dari tahun-ketahun. Belanja pemerintah berada
di posisi ke lima dan tiap tahunnya juga mengalami peningkatan sedankan
diskrepansi statistik berada pada posisi kedua terbawah yang perubahannya minus
pada tahun 2005 dan 2009 dan posisi terakhir di duduki oleh perubahan inventory
yang perubahannya menurun dari tahun ketahun.
Langganan:
Postingan (Atom)